2.19.2011

http://nofeqyse.110mb.com/mumuluti.html
ISpe ndMyE nti reWorki ngWi thMyWo rkI nProgr essD elivera ble s

12.21.2010

BUDAYA (ANTI) KORUPSI

Oleh: Roni Saputra
Budaya berasal dari bahasa Sanskerta yaitu buddhayah, yang dapat diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia, secara umum budaya merupakan cara hidup yang berkembang dan dikiliki bersama oleh sekelompok orang/masyarakat dan diwariskan dari generasi ke generasi. Disebutkan bahwa budaya itu bersifat komplek, abstrak dan luas. Bronislaw Malinowski mengatakan ada 4 unsur pokok yang meliputi: 1) sistem norma sosial yang memungkinkan kerja sama antara para anggota masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan alam sekelilingnya, 2) organisasi ekonomi, 3) alat-alat dan lembaga-lembaga atau petugas-petugas untuk pendidikan dan 4) organisasi kekuatan (politik).

Sebagian besar orang sudah pula mengkaitkan korupsi sebagai budaya, sehingga sudah barang tentu tidak bisa dihilangkan. Jika Korupsi sudah dianggap sebagai budaya, maka korupsi disebut sebagai buah budi atau akal fikiran yang sudah diaggap sebagai norma yang lazim untuk ditaati. Padahal kita tahu bahwa Korupsi itu adalah tindak kejahatan, yang dalam bahasa latinnya disebut corruptio yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan atau menyogok. Secara harfiah, korupsi dapat diartikan sebagai perilaku pejabat publik, baik politikus/politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka. Selain itu hukum memandang bahwa korupsi itu sebagai perbuatan melawan hukum dengan melakukan penyalahgunaan kewenangan, kesempatan dan atau sarana guna memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi sehingga merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Dengan demikian, sudah dapat dikatakan bahwa Korupsi merupakan kejahatan yang luar biasa dan kejahatan terhadap kemanusiaan, tidak berbeda dengan Terorisme.

Jika kita sudah menganggap Korupsi sebagai budaya, maka tidak ubahnya kita telah mendeklarasikan diri sebagai negara yang bebas dari aturan yang menuju ke arah kleptokrasi.

Kemunculan dari istilah Budaya korupsi ini memang tidak terlepas dari lambannya pemberantasan tindak pidana korupsi oleh aparat hukum di negeri ini, ditambah lagi dengan sudah menjamurnya perbuatan-perbuatan kotor tersebut di tengah masyarat, korupsi sudah tidak saja terjadi di level elite tetapi sudah masuk sampai ke tingkat terendah dalam sistem kepemerintahan, jika dulu lingkaran korupsi hanya diseputaran eksekutif, legislatif, sekarang ditingkat yudikatifpun sudah terjadi tindak pidana korupsi yang dikenal dengan istilah pemberantasan korupsi yang menimbulkan korupsi baru, alih-alih untuk memberantas korupsi, yang ada malah korupsi baru yang terjadi, begitu pandangan masyarakat terhadap lembaga yudikatif sekarang. Ditambah lagi dengan munculnya polemik besar ditahun 2009 dan 2010 ini, ada upaya-upaya signifikan yang dilancarkan oleh Koruptor dan kroninya untuk memangkas kewenangan KPK bahkan sampai berencana untuk membuat KPK tidak bernyali untuk memberantas Korupsi, diantara rentetan itu yang terkenal adalah lambannya pengesahan RUU Pengadilan Tipikor, kriminalisasi dua (2) orang pimpinan KPK termasuk lambannya pemilihan Ketua KPK pengganti Antasari sampai dengan saat ini, pimpinan KPK terpilih hanya diberi waktu satu (1) tahun untuk memimpin lembaga yang ditakuti oleh para Koruptor itu.

Lain dari pada itu, saat ini kita juga disuguhi oleh skenario baru berupa lambannya proses hukum serta penindakan terhadap Koruptor yang diduga sudah merugikan perekonomian negara, dengan alasan yang beragam, mulai dari banyaknya kasus yang sedang ditangani oleh lembaga penegak hukum, saksi-saksi tidak mencukupi, alat bukti kurang, atau belum adanya penghitungan kerugian keuangan negara oleh lembaga yang berwenang, bahkan sampai kepada kurangnya kewenangan lembaga itu, sehingga Tersangka belum bisa ditetapkan dan proses hukum terhenti untuk sementara sampai batas waktu yang tidak ditentukan.
Yang tidak kalah menariknya saat ini adalah ada beberapa kasus yang Tersangkanya sudah ditetapkan tetapi tidak ditahan, bahkan ada yang ditahan tetapi status penahanannya adalah tahanan Kota dengan alasan bahwa yang bersangkutan Kooperatif, menepati janji, tidak akan menghilangi barang bukti, dan alasan-alasan hukum lainnya. Hal yang berbeda dirasakan oleh mereka (masyarakat umum) yang disangka melakukan tindak pidana pencurian/jambret/perampokan. Seketika itu setelah ditangkap dan ditetapkan sebagai Tersangka, ia langsung di inapkan dirumah tahanan negara sampai dengan pengadilan mengeluarkan putusan. Padahal patut kita ketahui bahwa Korupsi, maling, rampok dan jambret itu adalah sama-sama kejahatan yang melawan hukum, sama-sama diatur dalam Undang-undang, bahkan Korupsi disanksi lebih berat dari pencurian, penjambretan ataupun perampokan, tetapi kenapa perlakukannya berbeda? Kenapa orang yang diduga Korupsi lebih manusiawi perlakuannya? Jelas-jelas negara sangat dirugikan oleh tindakan yang Koruptif tersebut, apakah karena Pelakunya didominasi oleh orang-orang yang berkuasa? Jika memang demikian, maka sudah barang tentu negeri ini tidak akan pernah selamat dari Koruptor.

Tidak jauh berbeda dari hal diatas, sehari-hari masyarakat juga melihat ternyata tuntutan bahkan sampai putusan pengadilan jarang yang setimpal dengan perbuatan para Koruptor itu, tidak sedikit mereka hanya dituntut dengan sanksi yang pas-pasan sesuai ancaman minimal dalam undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi bahkan kadang kala adapula yang dituntut dibawah ancaman minimal serta diiringi dengan putusan yang terkesan juga pas-pasan, bahkan ada kasus dimana Terdakwa diputus hanya lima (5) bulan oleh pengadilan, atau hanya satu (1) tahun saja, sedangkan kerugian yang ditimbulkan oleh mereka mungkin lebih dahsyat dari pada terorisme atau pencurian. Untuk kasus teroris misalnya, Pengadilan Negeri Jakarta Barat menjatuhkan vonis terhadap enam orang terdakwa mulai dari 7 tahun sampai dengan 9 tahun dari tuntutan Jaksa Penuntut umum 10 sampai 15 tahun, sedangkan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memvonis Lambertus Terdakwa Korupsi dengan penjara hanya tiga (tiga) tahun dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum hanya enam (6) tahun, dan di Pengadilan Negeri Payakumbuh hanya menjatuh vonis kepada “AS” terdakwa Korupsi penyimpangan keuangan Satpol PP selama satu (1) Tahun dari Tuntutan Jaksa Penuntut Umum yang hanya selama 1 tahun 6 bulan.

Sepertinya menjadi seorang Koruptor di negeri ini sudah sangat biasa saja, selain hukuman yang minimal bahkan bisa bebas atau bisa sampai pada tingkatan tidak akan diperiksa dengan berbagai alasan, pemerintahpun sepertinya hanya gencar untuk membuat aturan dan program pemberantasan korupsi tetapi tidak benar-benar menerapkan prinsip-prinsip aturan tersebut.

Menuju Tataran Ideal Pemberantasan Korupsi
Idealnya pemberantasan Korupsi ini menjadi agenda bersama baik pemerintah, masyarakat terutama aparat pegak hukum. Aturan-aturan hukum yang sudah ada seharusnya benar-benar dilaksanakan tanpa pilih kasih, bahkan sanksi maksimal harus diberikan oleh Hakim, sehingga efek jera yang diharapkan dapat terlaksana dengan baik.

Perlakuan terhadap para koruptor haruslah sama dengan pelaku terorisme, jika pemerintah mewacanakan tidak akan memberikan pengurangan hukuman walaupun mereka berkelakuan baik, maka terhadap para koruptor juga harus seperti itu. Khusus pada tingkat penyidikan dan penuntutan aparat hukum diwajibkan untuk tidak memberikan penangguhan penahanan ataupun pengalihan status, jika ada aparat penegak hukum yang memberikan penangguhan penahanan ataupun pengalihan status tahanan maka terhadap yang bersangkutan harus diberikan sanksi yang tegas. Sanksi lain yang pelu dijatuhkan adalah pemiskinan yang masif kepada para koruptor tersebut dengan cara menyita seluruh harta kekayaan yang dimiliki. Jika pemerintah tidak melakukan itu nicaya budaya anti korupsi bisa diterapkan, dan masyarakat akan berpendapat bahwa benar kita telah menganut budaya korupsi.

2.16.2010

AJI Tolak Rancangan Peraturan Menkominfo Tentang Konten Multimedia


PADANG--Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia menyatakan dengan tegas menolak Rancangan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika menganai Konten Multimedia, karena bertentangan dengan Undang-Undang Pers.

"Jika rancangan peraturan ini disahkan, maka pers Indonesia akan menghadapi era sensor dan bredel baru," kata Ketua AJI Indonesia, Nezar Patria dalam siaran pers yang diterima PadangKini.com, Senin (15/2/2010).

Menurut AJI pasal-pasal dalam Rancangan Peraturan Menteri (Permen) tersebut bertentangan dengan UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers. Padahal UU Pers dijadikan konsideran.

"Namun napas dan jiwanya (UU Pers-red) tidak mewarnai rancangan peraturan ini, juga tak ada satupun Rancangan Permen tersebut yang menyatakan bahwa ketentuan peraturan ini tidak berlaku untuk pers," ujarnya.

Rancangan Permen tersebut pada intinya melarang penyelenggara jasa internet untuk mendistribusikan konten yang dianggap illegal (pasal 3 sampai 7) dan mewajibkan memblokade serta menyaring semua konten yang dianggap illegal (pasal 7 sampai 13) dan pembentukan Tim Konten sebagai lembaga sensor (pasal 22 sampai 29).

"Padahal Pasal 4 ayat (2) UU Pers mengatakan terhadap pers tidak dikenakan sensor, bredel dan larangan penyiaran dan ayat (3) mengatakan untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh dan menyebarluaskan gagasan dan informasi," katanya.

Lenturnya definisi konten illegal, menurut AJI, juga bahaya tersendiri bagi pers. Misalnya pasal (3) yang menyatakan konten pornografi sebagai illegal. Sementara, tidak ada definisi mengenai ‘pornografi' dalam rancangan peraturan ini. Hal ini akan menimbulkan multitafsir.

"Untuk itu AJI Indonesia meminta Menteri Komunikasi dan Informatika membatalkan rancangan peraturan ini, AJI Indonesia menilai Kode Etik Jurnalistik merupakan satu-satunya sarana regulasi konten pers, baik cetak, internet maupun penyiaran," kata Nezar.

Sementara, tambahnya, untuk program-program siaran sudah ada Pedoman Perilaku Penyiaran Indonesia dan Standar Penyiaran Indonesia yang dibuat oleh Komisi Penyiaran Indonesia. (s)Padangkini.com



Kejati Tahan Mantan Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Solok


PADANG--Kejaksaan Tinggi Sumatera Barat menahan Naspi, mantan Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Solok, Senin (15/2/2010) sekitar pukul 15.30 WIB.

Naspiyang sekarang Sekretaris DPRD Kabupaten Solok ditahan terkait penetapannya sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi pengadaan komputer untuk SD dan SMP di Kabupaten Solok melalui APBD 2007.

Kepala Seksi Penegakan Hukum dan Humas Kejaksaan Tinggi Sumatera Barat Koswara mengatakan, Naspi dalam kegiatan pengadaan komputer tersebut menjadi Kuasa Pengguna Anggaran ketika menjabat Kepala Dinas Pendidikan.

Dalam kegiatan pengadaan 75 unit komputer dengan anggaran Rp370 juta tersebut, diduga merugikan keuangan negara Rp74 juta.

"Nilai kerugian merupakan hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Sumatera Barat," katanya.

Selain Naspi, Kejaksaan juga sudah menahan tiga tersangka lain, Ardonis, Refridon dan Adriadi. Ketiganya akan dilimpahkan Kejati kepada Kejari Solok.

Dugaan korupsi pengadaan komputer, kata Koswara, terletak pada perbedaan harga dan spesifikasi barang. Naspi ditahan, katanya, untuk memperlancar proses penyidikan. (j/s)PadangKini.com



Korban Cabut Tuntutan, Kepala Satpol PP Bukittinggi Dibebaskan


Setelah sempat diinapkan selama satu malam di Mapolresta Bukittinggi, dalam dugaan kasus penyaniayaan. Kepala Kantor Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Bukittinggi, "Z", Selasa (16/2), akhirnya dibebaskan dari tuntutan. Menyusul adanya perdamaian dari kedua belah pihak, dan korban pun mencabut tuntutannya di Mapolresta Bukittinggi.


Kasat Reskrim AKP Nasrun Pasaribu, mengatakan "Z" telah dibebaskan, setelah adanya penyelesaian oleh ninik mamak kedua belah pihak, karena antara "Z" dengan Asril St. Rajo Alam (korban) yang merupakan masih satu kaum.


Kebijakan bersama yang disertai dengan pencabutan tuntutan dari pihak korban, maka atas kesepakatan bersama, akhirnya Selasa (16/2) tadi, "Z" pun diperbolehkan pulang.

Terhadap persetujuan damai itu, "Z" yang sudah ditetapkan sebagai tersangka tersebut, juga harus membayar semua biaya pengobatan dan biaya lainnya yang telah dikeluarkan oleh korban terhadap tindakan penganiyaan itu, dan "Z" pun menyanggupinya.


Cuma saja, begitu keluar dari kantor polisi, beberapa wartawan yang memintai tanggapan dari korban, namun dengan langkah terburu-buru, korban justru menghindar dari pertanyaan wartawan. Padahal ketika ditemui sebelumnya, korban dengan senang hati menjelaskan semua yang terjadi.


Bahkan korban menyatakan tekatnya bawa kasus penganiayaan yang dilakukan oleh "Z" itu harus diitindaklanjuti. Sehingga kuat dugaan, menghindarnya korban untuk memberikan penjelasan, atas permintaan dari "Z" sendiri.


Karena sebelumnya, "Z" juga terlihat berbisik kepada Asril, namun Asril menjawab bisikan itu dengan suara keras, "Indak-Indak (tidak-tidak)," kata korban. Seakan-akan bisikan "Z" itu, menyarankan agar korban jangan berbicara dengan wartawan.


Sebelumnya, Kepala Satpol PP Bukittinggi ini ditetapkan sebagai tersangka Polresta Bukittinggi,karena diduga telah melakukan pemukulan terhadap korbannya, Asril Sutan Rajo Alam. Sehingga dahi dan mulut korban mengalami luka robek, punggung serta telapak kaki kiri korban juga membengkakdengan kasus. "Z" terlibat tindak pidana penganiayaan sesuai Pasal 351 KUHP, dimana dalam pasal 351 KUHP tersebut bahwa barang siapa yang melakukan suatu tindakan melukai dari pada korban. Sehingga diterapkan Pasal 351 (1) KUHP.[Padek]



Djufri Power: Jaksa pun Lemah


Sumatera Barat pernah menjadi pendobrak pemberantasan korupsi di Indonesia, ketika bersatunya elemen masyarakat dalam mendorong pemberantasan korupsi ditubuh legilatif pada tahun 2002 silam, praktek korupsi yang dikenal dengan sebutan korupsi berjamaah. Namun kejayaan itu semakin lam semakin pudar, Sumatera Barat seperti kehilangan cahaya dalam pemberantasan korupsi, kenapa tidak semenjak tahun 2005 sampai sekarang bisa dihitung berapa para pejabat korup yang diadili. Hebatnya, pemberantasan korupsi yang dilakukan sekarang tidak lebih dari upaya pemenuhan untuk melengkapi persyaratan bahwa aparat hukum di Sumbar sudah bekerja untuk mengurangi praktek-praktek korupsi. Dengan jalan mengadili orang-orang kecil dilingkungan korupsi

Jika dibalik lembar perjalanan pemberantasan korupsi di Sumbar semenjak 2004, kita akan melihat gambaran/pola pemberantasan korupsi yang kompromis. Banyak diantara kasus yang dituntuk oleh kejaksaan berakhir dengan vonis bebas oleh pengadilan. Sehingga banyak pihak memberikan rapor merah terhadap upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh kejaksaan.

Beberapa kasus yang menjadi perhatian public sampai saat ini masih tidak jelas sejauh mana perkembangannya, dan kesemua kasus itu berada ditingkat kejaksaan, sebut saja misalnya kasus meterisasi Penerangan Jalan Umum (PJU) 2006, kasus PAD ‘0’ di Mentawai, kasus Kasus Kakao yang diduga melibatkan Kepala Daerah di Sawahlunto (yang dijerat hanya sampai Kepala Dinas), Kasus Pengadaan computer di Solok, kasus pensertifikatan tanah negara untuk individu di Solok, pengadaan tanah untuk kantor DPRD dan Poll Dinas Pertamanan di Bukittinggi. Dan masih banyak lagi.

Hampir dari semua kasus di atas melibatkan kepala daerahnya, tapi sampai saat ini tidak ada kejelasan atas perkembangan kasus tersebut, semuanya ngambang, menguap seperti embun di pagi hari yang disapu sinar matahari.

Salah satu yang paling menarik adalah kasus yang melibatkan salah seorang mantan kepala daerah Bukittinggi, Djufri. Pada saat masih menjabat sebagai Walikota dia ditetapkan sebagai Tersangka oleh Kajati Sumbar bersama dengan Sekretaris Kota Bukittinggi khairul atas dugaan kasus korupsi “Pengadaan tanah untuk Kantor DPRD dan Pool Kendaraan Sub Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Bukittinggi”, terjadi pada tahun 2007 dengan anggaran Rp.9 Milyar.

Pada awalnya yang ditetapkan sebagai tersangka adalah Drs. Anderman, M.Si (mantan Camat Mandiangin Koto Selayan), Drs. Wasdinata (mantan Kabag Pemerintahan), Asmah Hadi, SH (Kabag Hukum), Unggul, S.Sos, M.Si (Staf Keuangan), Ermansyah (Lurah Manggih Gantiang), Darma Putra (Lurah Cimpago Guguak Bulek). Keenam orang tersebut di sidangkan di Pengadilan Negeri Bukittinggi. Pembacaan dakwaan pada tanggal 10 November 2008, eksepsi Penasehat Hukum tanggal 24 November 2008, pembacaan Putusan Sela oleh Majelis Hakim tanggal 1 Desember 2008, pemeriksaan saksi sebanyak 5 orang tanggal 12 Desember 2008, dan lanjutan pemeriksaan saksi tanggal 16 Desember 2008. Selesai pemeriksaan saksi, pada persidangan tanggal 16 Desember 2008 keenam orang terdakwa dikabulkan penangguhan penahanannya oleh Majelis Hakim lewat Surat Penetapan No: 197 dan 196/Pen.Pid/2008/PN.BT tertanggal 16 Desember 2008. dan akhirnya mereka diputuskan bebas oleh Majelis Hakim Pengadilan Bukittinggi.

Berdasarkan bukti-bukti yang didapat dari penyidikan sampai pemeriksaan hingga ke persidangan dari keenam terdakwa kasus korupsi dalam pengadaan tanah untuk Kantor DPRD dan Pool Kendaraan Sub Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Bukittinggi tersebut maka terungkap adanya keterlibatan Walikota Bukittinggi Drs. Djufri bersama Sekda Kota Drs. Khairul karena dalam kegiatan pengadaan tanah tersebut ternyata Drs. Djufri bertindak selaku penanggungjawab kegiatan dan Drs. Khairul sebagai ketua panitia pengadaan. Untuk dugaan kasus korupsi dalam pengadaan tanah yang melibatkan Walikota dan Sekda Kota Bukittinggi ini, penyidikannya diambil alih oleh Kejati Sumbar.

Pada tanggal 9 Januari 2009 Kejati Sumbar mengeluarkan Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) Nomor Print:15/N.3/Fd/01/2009 untuk Drs. Djufri dan untuk Drs. Khairul dengan Sprindik Nomor Print:16/N.3/Fd/01/2009. Lewat surat tersebut pihak Kejati Sumbar langsung menetapkan status keduanya sebagai tersangka. Jaksa Penyidik untuk penyidikan kasus yang melibatkan Walikota dan Sekda Kota Bukittinggi ini adalah Yusnedi Yakub, SH, Imme Kirana, SH. Rencananya kedua tersangka akan dijerat dengan Pasal 2 UU TPK jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Karena pada penetapan status Tersangka terhadap Djufri, yang bersangkutan menjabat sebagai walikota, maka pada tanggal 9 Januari 2009, Kejaksaan Tinggi mengirimkan surat permohonan/izin pemeriksaan terhadap Djufri kepada Presiden RI, sesuai dengan perintah UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Dalam UU 32 Tahun 2004 pasal 36 menyebutkan (1) Tindakan penyelidikan dan penyidikan terhadap kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah dilaksanakan setelah adanya persetujuan tertulis dari Presiden atas permintaan penyidik. (2) Dalam hal persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diberikan oleh Presiden dalam waktu paling lambat 60 (enam puluh) hari terhitung sejak diterimanya permohonan, proses penyelidikan dan penyidikan dapat dilakukan.

Ayat (2) UU No. 32 Tahun 2004 memberikan pengertian, jika dalam waktu 60 hari Presiden tidak mengeluarkan izin, maka Kejaksaan selaku penyelidik dan penyidik sudah dapat melakukan tindakan hukum, berupa pemeriksaan. Hal ini juga diperkuat oleh Surat Edaran Mahkamah Agung No 9 Tahun 2009 yang dikeluarkan pada 30 April 2009 menyebutkan “ada/tidaknya permintaan persetujuan yang dilakukan oleh penyidik, jika sudah ada surat permintaan dan telah lewat waktu 60 (enam puluh) hari, maka izin persetujuan penyelidikan/penyidikan dari Presiden jadi tidak relevan lagi”.

SEMA ini seharusnya sudah menjadi jawaban atas keraguan Kejaksaan untuk melakukan pemeriksaan terhadap Djufri pada waktu itu. Namun sekarang kondisinya sudah berbeda, Djufri sudah tidak lagi menjadi Walikota atau lebih disebut sebagai mantan Walikota, karena yang bersangkutan telah terpilih menjadi anggota DPRRI dari Partai Demokrat. Sehingga status pemeriksaan atas dasar UU No 32 Tahun 2004 sudah tidak berlaku bagi yang bersangkutan. Selaku anggota Dewan, jika ia akan diperiksa maka yang berlaku adalah UU No 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPD, DPR dan DPRD (MD3). Pasal 220 ayat (3) Yang menyebutkan pemeriksaan terhadap anggota MPR, tidak diperlukan izin presiden jika yang bersangkutan (a) tertangkap tangan melakukan tindak pidana (b) disangka melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana seumur hidup atau tindak pidana kejahatan terhadap kemanusiaan dan keamanan negara berdasarkan bukti permulaan yang cukup, atau (c) disangka melakukan tindak pidana khusus. Tindak pidana Korupsi sebagaimana kita ketahui merupakan tindak pidana khusus, sebagaimana yang tertuang dalam UU No 31 Tahun 1999 yang dirubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Sudah seharusnya, Kejaksaan berfikir Progresif dalam pemberantasan Korupsi dan tidak melihat undang-undang menggunakan kacamata kuda. Sebagai salah satu pilar penegak hukum, Kejaksaan seharusnya lebih maju dari Komisi Pemberantasan Korupsi.