7.03.2008
Mahkamah Antikorupsi
Denny Indrayana
Doktor Hukum Tata Negara
Ketua Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum UGM
Direktur Indonesian Court Monitoring
Mahkamah Konstitusi kembali mengundang perhatian. Putusannya atas uji konstitusionalitas UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali menuai tanggapan pro-kontra. Putusan itu dijatuhkan atas permohonan yang diajukan Mulyana W. Kusuma, Captain Tarcisius Walla dan Nazaruddin Sjamsuddin dkk.
Pada pokoknya permohonan menyoal konstitusionalitas UU KPK khususnya atas pasal yang mengatur eksistensi KPK, khususnya sebagai lembaga Negara independen; konstitusionalitas eksistensi pengadilan ad hoc tindak pidana korupsi; wewenang KPK untuk melakukan penyadapan; wewenang KPK untuk memeriksa kasus korupsi karena “meresahkan masyarakat”; aturan bahwa KPK tidak dapat mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3); serta aturan bahwa UU KPK berlaku sejak ditetapkan.
Terhadap semua pasal yang dimohonkan tersebut – kecuali tentang konstitusionalitas pengadilan tipikor – MK memutuskan tidak ada aturan yang bertentangan dengan UUD 1945. Itu artinya, eksistensi KPK sebagai lembaga antikorupsi yang independen dan mempunyai kewenangan-kewenangan “luar biasa” semakin kokoh posisi hukumnya. Wewenang KPK untuk melakukan penyadapan dikuatkan lagi setelah dalam putusan MK sebelumnya juga dinyatakan tidaklah melanggar UUD 1945; wewenang KPK untuk memeriksa kasus “yang meresahkan masyarakat” diakui sebagai salah satu kriteria yang sepatutnya diterima; aturan bahwa KPK tidak dapat mengeluarkan SP3 dinyatakan sudah tepat. Jika kemudian, ternyata dalam proses pemeriksaan, diketemukan bukti tersangka/terdakwa tidak bersalah, maka KPK disarankan menuntut bebas dan pengadilan tipikor-lah yang memvonis tidak bersalah. Mekanisme demikian menurut MK lebih tepat untuk menghindari praktek haram mafia peradilan berpotensi yang memperjual-belikan kewenangan mengeluarkan SP3.
Dari seluruh aturan yang dimohonkan uji konstitusionalitas, hanya pasal 53 UU KPK yang mengatur tentang keberadaan KPK diputuskan bertentangan dengan UUD 1945. Masih adanya kasus korupsi yang disidangkan pada pengadilan biasa dan ada yang diproses di pengadilan tipikor menurut MK menimbulkan dualisme sistem peradilan korupsi yang. Argumen demikian memang sulit untuk dibantah dan mempunyai pijakan substansial dan faktual yang kuat.
Saya berpendapat, MK tetap wajib diapresiasi, karena meskipun membatalkan pasal 53, MK memutuskan pasal tersebut diberi masa untuk tetap berlaku maksimal sampai 3 tahun. Masa itu dinyatakan MK perlu untuk memuluskan masa transisi, dan kesempatan untuk membuat Undang-undang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang benar, tidak bertentangan dengan UUD 1945.
MK dengan bijak menyatakan, waktu tiga tahun itu diberikan karena empat alasan, yaitu jangan sampai putusan MK: (1) mengganggu, menimbulkan kekacauan atas perkara yang sedang berjalan; (2) menimbulkan ketidakpastian hukum; (3) melemahkan semangat pemberantasan Korupsi; dan (4) tidak memberikan waktu yang cukup untuk membuat UU Pengadilan Tipikor.
Melihat empat alasan yang diberikan MK itu jelaslah para hakim konstitusi berpegang teguh pada kemanfaatan keberadaan pengadilan tipikor dan tidak hanya menimbang dari sisi kepastian hukum semata. Suatu paradigma berpikir progresif antikorupsi yang sangat tepat dan karenanya patut diapresiasi.
MK agaknya belajar dari kurang tepatnya putusan sebelumnya, khususnya yang berkait dengan Undang-undang Komisi Yudisial. Dalam putusan UU KY, MK serta-merta memberlakukan tidak mengikatnya pengawasan hakim, yang berakibat timbulnya kekosongan hukum dan berpotensi makin maraknya praktik haram mafia peradilan. Karenanya dalam putusan ini MK memberi waktu longgar 3 tahun untuk DPR dan presiden menyiapkan Undang-undang Pengadilan Tipikor.
Tentu saja putusan MK yang tidak otomatis berlaku itu tidak sepi dari kontroversi. Pasal 47 UU MK secara tegas mengatur, putusan MK mempunyai kekuatan hukum tetap sejak dibacakan dalam sidang pleno yang terbuka untuk umum. Memutuskan tidak berlakunya pengadilan tipikor tersebut 3 tahun kemudian tentu saja dapat diartikan bertentangan dengan pasal 47 tersebut. Tetapi, disinilah letak strategisnya putusan MK. Delapan hakim konstitusi – H.M. Laica Marzuki memberikan dissenting opinion-nya – yang dengan bijak melihat jika langsung diberlakukan pembatalan pasal 53, sama artinya pengadilan tipikor bubar dan terjadilah gempa besar diiringi tsunami agenda pemberantasan Korupsi. Tidak hanya mempertimbangkan penundaan tidak berlakunya pasal 53, MK juga memuat pertimbangan tersebut di dalam amar putusannya sehingga mempunyai kekuatan mengikat yang lebih pasti.
Putusan ini adalah kado MK bagi ulang tahun KPK yang ke-3 pada tanggal 29 Desember yang akan datang. Ini adalah kado MK pula bagi agenda besar pemberantasan korupsi. Tugas selanjutnya ada di DPR dan presiden untuk melanjutkan putusan MK, dan membuat UU Pengadilan Tipikor yang lebih ideal. Bravo MK, konsistenlah bertahan menjadi Mahkamah Antikorupsi. (*)
No Response to "Mahkamah Antikorupsi"
Leave A Reply