7.04.2008

JUSTICE DELAYED JUSTICE DENIED

Posted on 01.53 by HUKUM HAM DAN DEMOKRASI

SHINTA AGUSTINA, S.H., M.H.


Proses penyelesaian suatu perkara pidana dilakukan dalam sebuah sistem yang disebut dengan Sistem Peradilan Pidana. Sistem tersebut terdiri dari empat sub sistem, yaitu subsistem kepolisian, subsistem kejaksaan subsistem pengadilan dan subsistem pemasyarakatan. Masung-masing subsistem mempunyai fungsi, tugas dan wewenang tersendiri, manun memiliki tujuan akhir yang sama, yaitu penanggulangan kejahatan.

Nama sistem dalam istilah Sistem Peradilan Pidana membawa arti bahwa proses tu harus berlangsung dalam suatu keterpaduan atau sinkronisasi pada semua subsistem. Ini berarti agar tercapainya tujuan dari sistem tersebut, maka senua subsistem harus bekerja sesuai dengan fungsi, tugas dan kewengan yang dimiliki sebagaimana diatur dalam KUHAP. KUHAP sebagaimana pedoman utama dalam penyelesaian perkara pidana telah mendesain proses itu sedemikian rupa, sehingga terdapat keterpaduan diantara semua subsitem yang terlibat dalam proses tersebut.

Proses penyelesaian perkara pidana itu sendiri menurut KUHAP, bermula dari penyelidikan dan penyidikan oleh Kepolisian, penuntutan oleh Jaksa Penuntut Umum, persidangan di Pengadilan, sampai upaya hukum bila para pihak tidak menerima putusan yang dijatuhkan hakim. KUHAP bahkan juga mengatur bahwa putusan hakim harus dilaksanakan oleh Jaksa selaku eksekutor, dan bahwa pelaksanaan putusan tersebut harus diawali oleh hakim pengawas dan pengamat.

Beranjak dari kondisi normatif tadi, kita melihat bahwa ada sesuatu yang tidak berjalan sesuai aturan dalam penanganan perkara korupsi yang dilakukan oleh mantan anggota DPRD Propinsi Sumatera Barat periode 1999-2004. Proses penyelesaian perkara ini sesungguhnya sudah berjalan on the track (pada rel yang benar) sampai turunnya putusan kasasi dari Mahkamah Agung. Namun proses itu mulai berjalan ke luar jalur, ketika Kejaksaan selaku eksekutor menyatakan menunda eksekusi, dengan alasan menunggu satu berkas perkara yang terkait, yang hingga saat ini maih belum jelas kapan akan diputus.

Putusan Kasasi dari Mahkamah Agung dalam kasus ini sudah bersifat in kracht van gewijsde (berkekuatan hukum tetap). Terhadap putusan seperti ini, hukum mengatakan harus segera dieksekusi. Tidak ada hal yang dapat menunda eksekusi suatu putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Bahkan, sekalipun Terpidana melakukan upaya hukum Peninjauan Kembali (PK), atau pun mengajukan permononan ampun (grasi) kepada Presiden, eksekusi tetap harus dilaksanakan. (lihat Pasal 268 ayat (1) KUHAP, dan Pasal 3 UU Grasi).

Logika hukum dari aturan yang menentukan bahwa eksekusi terhadap putusan yang in kracht, tidak dapat ditunda oleh upaya hukum apapun adalah, untuk memberikan kepastian hukum dalam menyelesaikan perkara pidana, sekaligus juga menciptakan keadilan bagi rakyat banyak. Kepastian hukum dan keadilan adalah dua tujuan utama hukum secara keseluruhan, bukan hanya hukum pidana.

Penundaan eksekusi yang dilakukan oleh eksekutor terhadap putusan yang berkekuatan hukum tetap, tanpa alasan yang sah menurut hukum, jelas melanggar aturan main yang ditetapkan oleh KUHAP. Pelanggaran ini membawa akibat langsung, yaitu tidak adanya suatu kepastian hukum dalam penyelesaian perkara pidana, dan semakin jauh keadilan bagi para justisiabelen. Proses penyelesaian perkara pidana ternyata masih dapat diatur sedemikian rupa, sesuai kepentingan pihak-pihak tertentu.

Penundaan tersebut juga berdampak negatif secara hukum, dan hukum pidana khususnya. Masyarakat umum kehilangan kepercayaan terhadap hukum, dan menganggap hukum hanya berlaku bagi orang-orang kecil yang tidak memiliki kekuatan baik secara politis maupun ekonomi. Keadilan menurut hukum hanyalah utipia yang takkan pernah dapat digapai. Proses penundaan tersebut juga mengisyaratkan bahwa, penegakan hukum dapat diintervensi oleh pihak luar, sehingga tidak dapat lagi berjalan mengikuti rel yang telah diatur oleh hukum.

Secara politis, penundaan eksekusi juga berdampak buruk terhadap pemerintahan sekarang. Presiden SBY telah mencanangkan perang terhadap korupsi, sebagai salah satu program pemerintahannya dibidang hukum. bahkan untuk itu Presiden telah mengeluarkan Instruksi Presiden No. 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Tapi praktek penegakan hukum, khususnya penegakan korupsi, berjalan setengah hati dan diskriminatif. Terutama terhadap kasus-kasus korupsi yang terjadi di daerah.

Sekarang pertanyaannya, dari sudut akademisi, apa yang harus dilakukan agar penegakan hukum (pemberantasan Korupsi) kembali berjalan sesuai jalur? Ada tiga hal yang miungkin dapat dilakukan dalam kerangka menggawangi/mengawal proses penegakan hukum (Pemberantasan Korupsi), yaitu:

1. Memberdayakan Hakim Pengawas dan Pengamat (Hakim Wasmat) sebagimana diatur dalam Bab XX KUHAP. Pasal 280 ayat (1), menetukan: “Hakim Pengawas dan Pengamat mengadakan pengawasan guna memperoleh kepastian bahwa putusan pengadilan dilaksanakan sebagaimana mestinya”.

2. Melaporkan tindakan Eksekutor tersebut kepada Komisi Kejaksaan yang baru saja dilantik, sebagai pe-er pertama mereka. Hal ini terpaksa dilakukan karena pengawasan internal sepertinya tidak berjalan dalam kasus ini.

3. Memberdayakan pengawasan publik sebagaimana selama ini berlangsung. Sudah disadari bahwa perang terhadap korupsi bukan hanya menjadi tugas pemerintah, atau dalam hal ini aparat penegak hukum saja, tetapi menjadi tugas semua elemen masyarakat. Korupsi, sebagaimana kejahatan pada umumnya adalah fenomena sosial, yang terus terjadi selama masih ada manusia yang hidup dalam kelompok (masyarakat). Oleh karena itu pemberantasannya juga menjadi tugas masyarakat secara bersama.
Di akhir tulisan ini, izinkan saya mengingatkan apa yang pernah disampaikan oleh seorang ahli hukum terkenal, yang menjadi judul tulisan ini, bahwa “keadilan yang tertunda adalah ketidakadilan itu sendiri”. Keadilan yang hendak diwujudkan oleh putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap itu, seharusnya segera menjadi kenyataan.

1 Response to "JUSTICE DELAYED JUSTICE DENIED"

Leave A Reply