7.04.2008
“KETIKA MAFIA MERASUKI DUNIA PERADILAN”
Posted on 01.55 by HUKUM HAM DAN DEMOKRASI
Rony Syahputra, S.H.
Jauh hari sebelumnya, Hong kong terkenal dengan dunia yang keras, banyak perkumpulan orang yang membetuk “gank” mereka memakai jubah hitam, kacamata hitam, perawakan mengejamkan dan selalu membawa senjata api, salah satu pekerjaannya adalah membunuh dan menagih uang para pengusaha. Sekarang merekapun dikenal dengan Mafia.
Sekarang, di era transisi (tidak tahu menuju kemana) Indonesia sepertinya juga telah terjangkit dengan Hong Kong tempo Doeloe, para “mafia” bertebaran dimana-nama, tetapi dalam bentuk yang sangat berbeda dengan Hong kong, di Indonesia mereka tidak berperawakan kejam, tidak menggunakan senjata, tetapi mereka berperilaku seperti “Penyelamat”, memakai saragam dan biasa duduk dibelakang meja. Berdasarkan hasil KP2KKN; 2006 pola mafia di Indonesia tersebut dirumuskan dalam bentuk sistematis, konspiratif, kolektif dan terstruktur. Lakon/pemeran utama dalam mafia di Indonesia adalah aparat penegak hukum (catur wangsa) yang pro justisia melalui penyalahgunaan wewenang, mal-administrasi dan perbuatan melawan hukum.
Banyak kasus yang terjadi di Indonesia yang dapat membuktikan adanya indikasi terjadinya Mafia peradilan, ranah yang biasanya terjangkit virus mafia ini adalah peradilan, karena yang menjadi barang dagangan para mafia ini adalah “Justice/keadilan”. Tidak jarang yang menjadi korbannya adalah para pejabat dan pengusaha yang tersangkut perkara-perkara besar seperti illegal logging dan korupsi (biasanya terjadi di levelan nasional dan daerah) serta masyarakat kecil (dalam kasus-kasus tertentu).
Krisis ekonomi sebenarnya menjadi salah satu faktor yang menyebabkan pola “mafia” ini berkembang dengan pesat (seperti jamur), pertumbuhan mafia peradilan inilah sebenarnya yang menciptakan krisis multi dimensi termasuk krisis moral, bahkan sekarang banyak masyarakat tidak percaya akan kekuatan hukum mampu menciptakan “Keadilan”. Karena sekarang keadilan tidak diukur dengan hal yang layak dan patut, tetapi diukur dengan seberapa besar uang yang mampu anda siapkan. Sehingga tidak salah masyarakat mengatakan “keadilan hanya untuk orang yang ber-uang”.
Berikut, penulis coba memaparkan beberapa bentuk dari “mafia Peradilan” tersebut;
Pola Mafia Peradilan di Kepolisian
Fungsi dari Kepolisian adalah pemeliharaan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat (UU No 2 Tahun 2002), selain itu polisi juga berfungsi sebagai Penyelidik dan Penyidik dalam perkara pidana (UU No. 8 Tahun 1981).
Hampir disetiap tugas dan fungsi tersebut diselubungi oleh para “mafioso peradilan”, diantaranya di penyelidikan oknum polisi meminta uang jasa pada korban tindak pidana, dengan alasan untuk mempercepat kasus. Ketika korban tidak mau memberikannya, mereka cenderung untuk mendiamkan kasus tersebut, bahkan ketika telah dikasihpun mereka tetap akan memperlama proses penyelidikan; selain itu banyak juga oknum penyelidik yang melakukan penggelapan perkara dengan cara meminta uang kepada pelaku tindak pidana untuk menghentikan penyelidikan dengan alasan tidak cukup bukti, atau yang biasa disebut “86”; pola lain adalah dengan menghentikan penyelidikan dengan alasan dicabut, pola yang dilakukan adalah penyelidik meminta uang kepada pelaku dengan kompensasi menekan korban untuk mencabut laporannya; pola ditingkat penyelidikan lain yang biasa dipakai oleh oknum polisi adalah pengabaian tindak pidana, pola ini dilakukan ketika korban/pelaku tidak mau memberikan “uang jasa” dengan cara memberikan layanan yang tidak semestinya, diskriminatif dan bahkan sampai menggunakan kekerasan.
Tingkat kedua pola mafia peradilan di kepolisian dilakukan pada penyidikan, pola yang biasa dipakai adalah negosiasi dengan cara penyidik menawarkan pasal-pasal dalam pembuatan BAP, semakin ringan pasal yang dituduhkan semakin besar biaya yang harus dibayarkan, hal ini akan berimplikasi kepada pengkaburan barang buki dan keterangan saksi; modus kedua yang dipakai adalah pemberian penangguhan penahanan, dengan cara menetapkan sejumlah uang jaminan penangguhan penahanan, biasanya uang tersebut diminta oleh penyidik kepada pelaku atau keluarga pelaku tidak dititipkan ke panitera pengadilan, karena seharusnya uang jaminan tersebut seharusnya dititipkan kepada panitera pengadilan; pola lain yang sering terjadi didaerah rentan konflik adalah pengabaian tindak pidana, modus yang biasa dipakai adalah dengan mengabaikan perkara pidana yang diadukan buruh, petani, PKL, dan kaum miskin kota bahkan cenderung malah mereka yang dikriminalisasikan.
Pola Mafia Peradilan di Satpol PP (PPNS)
Satpol PP sebagai salah satu institusi pemerintahan, yang bertugas untuk mengamankan perda juga tidak luput dari virus mafia peradilan, pola-pola yang biasa diterapkan adalah dengan meminta uang tebusan kepada PKL yang barang dagangannya disita, melakukan pelanggaran hukum acara dengan cara mengambil paksa barang dagangan, melakukan penangkapan yang sebenarnya tidak menjadi kewenangan dari PPNS, selain itu bentuk yang sering terjadi adalah banyak dari oknum Pol PP yang meminta setoran kepada PKL.
Lain PKL, lain lagi PSK (Pekerja Seks Komersial), pola yang biasa dipakai adalah dengan menjadi pembekcing rumah “esek-esek”, tindakan diskriminatif dalam artian hanya menertipkan “kupu-kupu malam yang berkeliaran di jalanan, melakukan penertiban menggunakan tindak kekerasan seperti dianjak perutnya, diseret, dipukul dan yang terakhir adalah dengan menerima “layanan gratis”.
Pola Mafia Peradilan di Kejaksaan
Tidak jauh berbeda dengan pola yang dilakukan oleh Kepolisian, Kejaksaanpun tidak luput dari praktek-praktek yang mengotori terciptanya keadilan yang dicita-citakan oleh segenap warga negara. Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksana putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan undang-undang (UU No 16 Tahun 2004).
Dalam Undang-undang Kejaksaan, sebelum dilantik, maka mereka yang bertugas untuk “menuntut” keadilan diwajibkan membacakan sumpah yang bunyinya:
Saya bersumpah/berjanji:
“……………. Bahwa saya senantiasa akan menolak atau tidak menerima atau tidak mau dipengaruhi oleh campur tangan siapa pun juga dan saya akan tetap teguh melaksanakan tugas dan wewenang saya yang diamanatkan undang-undang kepada saya.
Bahwa saya dengan sungguh-sungguh, untuk melaksanakan tugas ini, langsung atau tidak langsung, dengan menggunakan nama atau cara apa pun juga, tidak memberikan atau menjanjikan sesuatu apapun kepada siapa pun juga.
Bahwa saya untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam tugas ini, tidak sekali-kali akan menerima langsung atau tidak langsung dari siapa pun juga suatu janji atau pemberian“.
Beranjak dari sumpah dan janji tersebut, maka Kejaksaan sebagai fungsional harus melakukan tugas dan tanggung jawab untuk menentukan tegaknya keadilan, tetapi sumpah ternyata hanya tinggal sumpah. Banyak dari aparat Kejaksaan ini hanya memposisikan sumpah dan janji di bawah kitab suci sebagai seremonial ritual belaka, karena masih banyak ditemukan praktek-praktek “mafia peradilan” dilakangan mereka.
Sebagai contoh, dapat kita lihat dalam proses penyidikan (kasus-kasus yang berdampak besar; korupsi) tidak jarang JPU melakukan pemerasan terhadap Tersangka dengan cara sengaja memperpanjang proses penyidikan guna melakukan perundingan “uang damai” yang harus dibayarkan Tersangka; selain itu sering kali juga terjadi perubahan status dari saksi menjadi Tersangka, dan Tersangka utama menjadi Tersangka Pembantu (atau malah bisa menjadi saksi), penggelapan perkara juga dapat terjadi ditingkat JPU dengan cara P-19 (berulangkali mengembalikan berkas perkara kepada polisi, bahkan negosiasi kasus untuk di “peti-es”kan pun terjadi disini, pola yang biasa dipakai adalah dengan menawarkan kepada Tersangka, jika tersangka bersedia membayar sejumlah uang yang dimintakan oleh JPU maka kasus bisa di Petieskan atau dengan melakukan “damai illegal”.
Sebagai aparat penegak hukum, Kejaksaan juga mempunyai kewenangan untuk melakukan penahanan, pola yang biasa ditrapkan dalam penahanan adalah lewat jalur perubahan status Penahanan menjadi tahanan kota, tahan rumah atau tidak ditahan sama sekali. Perubahan status ini tergantung dari berapa kesanggupan “bank-saku” Terdakwa membayar, pola lain dalam penahanan adalah penangguhan penahanan, biasanya besar biaya jaminan ditetapkan oleh JPU dan uang jaminan tersebut tidak diserahkan kepada Panitera pengadilan tetapi ke JPU sendiri.
Praktek mafia yang dilakukan dan lazim, tetapi sampai saat ini tidak pernah terungkap adalah ketika JPU melakukan penuntutan di pengadilan, pola yang dipakai adalah adalah negosiasi perkara, biasanya jaksa akan melakukan tawar meawar sejumlah “angpau” untuk menerapkan pasal dalam dakwaan, kadang-kadang bagi pemain senior mereka juga menawarkan “Paket sidang” yaitu mengurus sampai vonis. Pembuktian pun tidak jarang JPU memainkan peran yang strategis yaitu dengan mengulur-ulur waktu persidangan, memanipulasi barang bukti, menghadirkan saksi yang tidak capable atau menghalangi saksi hadir supaya keterangan saksi cukup dibacakan (BAP), menerapkan unsur-unsur pidana yang salah dan memperlambat waktu Rentut (Rencana Penuntutan).
Pola Mafia Peradilan di Pengadilan
Pengadilan adalah wilayah yang sakral bagi para pencari keadilan, katanya pengadilan merupakan wilayah netral yang bebas dari pengaruh yang “gitu-gituan”, hampir semua orang cenderung memeilih pengadilan untuk menyelesaikan persoalan baik masalah publik maupun masalah privat karena kesakralannya tersebut.
Tetapi keakralan tersebut sekarang mulai berubah menjadi tempat “persekongkolan” para mafia peradilan. Seperti yang pernah diungkap diatas bahwa keadilan hanya untuk yang ber-uang. Ternyata fakta itu juga terjadi pengadilan sendiri.
Diantara bentuk/pola yang terjadi dipengadilan adalah ketika terjadi pelimpahan perkara, bagian registrasi akan meminta uang kepada akvokat terdakwa ketika registrasi kuasa, ketika akan menentukan majelis hakim khusus pada perkara-perkara yang “basah” biasanya akan dipegang oleh ketua Pengadilan selaku ketua mejelis, ketika akan dibuat putusan JPU atau Advokat yang mempunyai jaringan dengan hakim akan menemui hakim yang bersangkutan untuk melakukan nogosiasi dalam hal menentukan putusan yang akan dijatuhkan, bahkan tidak jarang hakim sengaja menunda pembacaan putusan supaya pihak Terdakwa menemui hakim dan melakukan negosiasi untuk menentukan putusan/vonis, hal yang sangat mengecewakan adalah adanya putusan bebas atau lepas dengan alasan hukum yang kuat dijadikan oleh hakim atau panitera sebagai “ladang dapur” dengan alasan bahwa “uang capek”, biasanya hakim akan menyuruh penitera untuk melakukan hal ini.
Pola Mafia Peradilan di Lembaga Pemasyarakatan
Hotel Prodeo sebagai tempat pembinaan bagi para “Terpidana” ternyata juga tidak luput dari proses pembusukan, bayangkan saja apa yang akan terjadi jika setiap Terpidana selalu dimintakan “uang keamanan”, yang pasti proses pembinaan tidak akan pernah berjalan dengan lancar.
Berikut ada pengalam menarik di beberapa Lembaga Pemasyarakat yang pernah penulis datangi. Ceritanya berawal ketika salah seorang Napi mengeluh bahwa setiap tamu yang membezuk ia, maka untuk satu orangnya ia diharuskan untuk membayar sejumlah uang, jika sitamu hanya berbicara diareal yang dibatasi dengan kerangkeng besi (jeruji) maka yang si Napi harus bayar Rp. 5000,- jika ingin bertatap muka tanpa dibatasi dengan jeruji besi (ruang tamu lepas) ia harus membayar sebanyak Rp. 1000,- bayangkan jika satu minggu dia dibezuk sekitar 5 (lima) orang, dan masa tanahannya adalah 2 (tahun), berapa ia harus membayar kepada sipir?? Selain itu juga ada praktek yang diterapkan di beberapa LP, dimana setiap pintu yang akan dilewati oleh tamu, maka si tamu dikenakan biaya Rp. 10.000,- dengan dalih “uang kebersihan”. Jika dalam satu hari ada sekitar 100 orang yang akan bertamu ke LP, berapa uang yang didapatkan oleh sipir selama satu bulan ??
Selain menarik “retribusi kebersihan”, di LP juga dikenal adanya uang setoran, uang ini diberikan oleh napi kepada sipir secara rutin sebagai uang tutup mulut ketika si napi membawa barang yang dilarang atau untuk mendapatkan fasilitas plus, bentuk lain yang juga berkembang di LP adalah “uang permintaan”, uang ini biasanya ditarik ketika dilakukannya penialan terhadap para napi guna mendapatkan pengurangan masa tahanan.
Pola Mafia Peradilan di Kalangan Advokat
Mafioso di kalangan Advokat mungkin lebih tepat mereka yang dikenal dengan sebutan Advokat Hitam/Black Lawyer (meminjam istilah Miko Kamal, S.H., LL.M)-maaf bukan bermaksud rasis, black lawyer dalam artian melakukan pekerjaan-pekerjaan yang menyimpang dari kode etik advokat, praktek yang biasa terjadi adalah ketika si Advokat memeras kliennya (hal ini terjadi karena besarnya honorarium tidak disepakati dengan tegas), atau bisa juga advokat yang memposisikan deri sebagai “calo perkara” dengan meminta sejumlah uang kepada klien guna pembayaran “uang negosiasi” dengan polisi, jaksa dan hakim.
Mencermati hal diatas, sudah buruk rupanya sistem peradilan di Indonesia, kemana masyarakat pencari keadilan harus mengadukan nasibnya ketika seluruh garda depan penegak hukum telah dirasuki oleh perilaku “Mafia ala Indonesia”. Dengan kondisi diatas, wajar rasanya ketika masyarakat sudah tidak lagi percaya dengan yang namanya “Keadilan”. Karena keadilan sudah menjadi barang dagangan para penegak keadilan dan keadilanpun rupanya hanya berpihak kepada “siber-uang”.
Dengan diangkatnya Issu reformasi peradilan, seharusnya para oknum penegak hukum yang telah tejangkit “kutu-kutu busuk” dan telah mencoreng raut wajah “Dewi Keadilan” seharusnya disingkirkan dari dunia peradilan, ketika mereka masih bercokol dan berkuasa, serta menyebarkan kutu-kutu busuk tersebut maka selamanya keadilan itu tetap akan berpihak kepada yang berkuasa, dengan kata lain simiskin akan semakin tersingkir dan keadilan itu hanya akan menjadi matamorgana yang menipukan mata.
Penulis adalah alumni Fakultas Hukum Unand dan anggota Monitoring Peradilan Masyarakat Anti Illegal Logging (MAIL) Sumbar
Jauh hari sebelumnya, Hong kong terkenal dengan dunia yang keras, banyak perkumpulan orang yang membetuk “gank” mereka memakai jubah hitam, kacamata hitam, perawakan mengejamkan dan selalu membawa senjata api, salah satu pekerjaannya adalah membunuh dan menagih uang para pengusaha. Sekarang merekapun dikenal dengan Mafia.
Sekarang, di era transisi (tidak tahu menuju kemana) Indonesia sepertinya juga telah terjangkit dengan Hong Kong tempo Doeloe, para “mafia” bertebaran dimana-nama, tetapi dalam bentuk yang sangat berbeda dengan Hong kong, di Indonesia mereka tidak berperawakan kejam, tidak menggunakan senjata, tetapi mereka berperilaku seperti “Penyelamat”, memakai saragam dan biasa duduk dibelakang meja. Berdasarkan hasil KP2KKN; 2006 pola mafia di Indonesia tersebut dirumuskan dalam bentuk sistematis, konspiratif, kolektif dan terstruktur. Lakon/pemeran utama dalam mafia di Indonesia adalah aparat penegak hukum (catur wangsa) yang pro justisia melalui penyalahgunaan wewenang, mal-administrasi dan perbuatan melawan hukum.
Banyak kasus yang terjadi di Indonesia yang dapat membuktikan adanya indikasi terjadinya Mafia peradilan, ranah yang biasanya terjangkit virus mafia ini adalah peradilan, karena yang menjadi barang dagangan para mafia ini adalah “Justice/keadilan”. Tidak jarang yang menjadi korbannya adalah para pejabat dan pengusaha yang tersangkut perkara-perkara besar seperti illegal logging dan korupsi (biasanya terjadi di levelan nasional dan daerah) serta masyarakat kecil (dalam kasus-kasus tertentu).
Krisis ekonomi sebenarnya menjadi salah satu faktor yang menyebabkan pola “mafia” ini berkembang dengan pesat (seperti jamur), pertumbuhan mafia peradilan inilah sebenarnya yang menciptakan krisis multi dimensi termasuk krisis moral, bahkan sekarang banyak masyarakat tidak percaya akan kekuatan hukum mampu menciptakan “Keadilan”. Karena sekarang keadilan tidak diukur dengan hal yang layak dan patut, tetapi diukur dengan seberapa besar uang yang mampu anda siapkan. Sehingga tidak salah masyarakat mengatakan “keadilan hanya untuk orang yang ber-uang”.
Berikut, penulis coba memaparkan beberapa bentuk dari “mafia Peradilan” tersebut;
Pola Mafia Peradilan di Kepolisian
Fungsi dari Kepolisian adalah pemeliharaan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat (UU No 2 Tahun 2002), selain itu polisi juga berfungsi sebagai Penyelidik dan Penyidik dalam perkara pidana (UU No. 8 Tahun 1981).
Hampir disetiap tugas dan fungsi tersebut diselubungi oleh para “mafioso peradilan”, diantaranya di penyelidikan oknum polisi meminta uang jasa pada korban tindak pidana, dengan alasan untuk mempercepat kasus. Ketika korban tidak mau memberikannya, mereka cenderung untuk mendiamkan kasus tersebut, bahkan ketika telah dikasihpun mereka tetap akan memperlama proses penyelidikan; selain itu banyak juga oknum penyelidik yang melakukan penggelapan perkara dengan cara meminta uang kepada pelaku tindak pidana untuk menghentikan penyelidikan dengan alasan tidak cukup bukti, atau yang biasa disebut “86”; pola lain adalah dengan menghentikan penyelidikan dengan alasan dicabut, pola yang dilakukan adalah penyelidik meminta uang kepada pelaku dengan kompensasi menekan korban untuk mencabut laporannya; pola ditingkat penyelidikan lain yang biasa dipakai oleh oknum polisi adalah pengabaian tindak pidana, pola ini dilakukan ketika korban/pelaku tidak mau memberikan “uang jasa” dengan cara memberikan layanan yang tidak semestinya, diskriminatif dan bahkan sampai menggunakan kekerasan.
Tingkat kedua pola mafia peradilan di kepolisian dilakukan pada penyidikan, pola yang biasa dipakai adalah negosiasi dengan cara penyidik menawarkan pasal-pasal dalam pembuatan BAP, semakin ringan pasal yang dituduhkan semakin besar biaya yang harus dibayarkan, hal ini akan berimplikasi kepada pengkaburan barang buki dan keterangan saksi; modus kedua yang dipakai adalah pemberian penangguhan penahanan, dengan cara menetapkan sejumlah uang jaminan penangguhan penahanan, biasanya uang tersebut diminta oleh penyidik kepada pelaku atau keluarga pelaku tidak dititipkan ke panitera pengadilan, karena seharusnya uang jaminan tersebut seharusnya dititipkan kepada panitera pengadilan; pola lain yang sering terjadi didaerah rentan konflik adalah pengabaian tindak pidana, modus yang biasa dipakai adalah dengan mengabaikan perkara pidana yang diadukan buruh, petani, PKL, dan kaum miskin kota bahkan cenderung malah mereka yang dikriminalisasikan.
Pola Mafia Peradilan di Satpol PP (PPNS)
Satpol PP sebagai salah satu institusi pemerintahan, yang bertugas untuk mengamankan perda juga tidak luput dari virus mafia peradilan, pola-pola yang biasa diterapkan adalah dengan meminta uang tebusan kepada PKL yang barang dagangannya disita, melakukan pelanggaran hukum acara dengan cara mengambil paksa barang dagangan, melakukan penangkapan yang sebenarnya tidak menjadi kewenangan dari PPNS, selain itu bentuk yang sering terjadi adalah banyak dari oknum Pol PP yang meminta setoran kepada PKL.
Lain PKL, lain lagi PSK (Pekerja Seks Komersial), pola yang biasa dipakai adalah dengan menjadi pembekcing rumah “esek-esek”, tindakan diskriminatif dalam artian hanya menertipkan “kupu-kupu malam yang berkeliaran di jalanan, melakukan penertiban menggunakan tindak kekerasan seperti dianjak perutnya, diseret, dipukul dan yang terakhir adalah dengan menerima “layanan gratis”.
Pola Mafia Peradilan di Kejaksaan
Tidak jauh berbeda dengan pola yang dilakukan oleh Kepolisian, Kejaksaanpun tidak luput dari praktek-praktek yang mengotori terciptanya keadilan yang dicita-citakan oleh segenap warga negara. Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksana putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan undang-undang (UU No 16 Tahun 2004).
Dalam Undang-undang Kejaksaan, sebelum dilantik, maka mereka yang bertugas untuk “menuntut” keadilan diwajibkan membacakan sumpah yang bunyinya:
Saya bersumpah/berjanji:
“……………. Bahwa saya senantiasa akan menolak atau tidak menerima atau tidak mau dipengaruhi oleh campur tangan siapa pun juga dan saya akan tetap teguh melaksanakan tugas dan wewenang saya yang diamanatkan undang-undang kepada saya.
Bahwa saya dengan sungguh-sungguh, untuk melaksanakan tugas ini, langsung atau tidak langsung, dengan menggunakan nama atau cara apa pun juga, tidak memberikan atau menjanjikan sesuatu apapun kepada siapa pun juga.
Bahwa saya untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam tugas ini, tidak sekali-kali akan menerima langsung atau tidak langsung dari siapa pun juga suatu janji atau pemberian“.
Beranjak dari sumpah dan janji tersebut, maka Kejaksaan sebagai fungsional harus melakukan tugas dan tanggung jawab untuk menentukan tegaknya keadilan, tetapi sumpah ternyata hanya tinggal sumpah. Banyak dari aparat Kejaksaan ini hanya memposisikan sumpah dan janji di bawah kitab suci sebagai seremonial ritual belaka, karena masih banyak ditemukan praktek-praktek “mafia peradilan” dilakangan mereka.
Sebagai contoh, dapat kita lihat dalam proses penyidikan (kasus-kasus yang berdampak besar; korupsi) tidak jarang JPU melakukan pemerasan terhadap Tersangka dengan cara sengaja memperpanjang proses penyidikan guna melakukan perundingan “uang damai” yang harus dibayarkan Tersangka; selain itu sering kali juga terjadi perubahan status dari saksi menjadi Tersangka, dan Tersangka utama menjadi Tersangka Pembantu (atau malah bisa menjadi saksi), penggelapan perkara juga dapat terjadi ditingkat JPU dengan cara P-19 (berulangkali mengembalikan berkas perkara kepada polisi, bahkan negosiasi kasus untuk di “peti-es”kan pun terjadi disini, pola yang biasa dipakai adalah dengan menawarkan kepada Tersangka, jika tersangka bersedia membayar sejumlah uang yang dimintakan oleh JPU maka kasus bisa di Petieskan atau dengan melakukan “damai illegal”.
Sebagai aparat penegak hukum, Kejaksaan juga mempunyai kewenangan untuk melakukan penahanan, pola yang biasa ditrapkan dalam penahanan adalah lewat jalur perubahan status Penahanan menjadi tahanan kota, tahan rumah atau tidak ditahan sama sekali. Perubahan status ini tergantung dari berapa kesanggupan “bank-saku” Terdakwa membayar, pola lain dalam penahanan adalah penangguhan penahanan, biasanya besar biaya jaminan ditetapkan oleh JPU dan uang jaminan tersebut tidak diserahkan kepada Panitera pengadilan tetapi ke JPU sendiri.
Praktek mafia yang dilakukan dan lazim, tetapi sampai saat ini tidak pernah terungkap adalah ketika JPU melakukan penuntutan di pengadilan, pola yang dipakai adalah adalah negosiasi perkara, biasanya jaksa akan melakukan tawar meawar sejumlah “angpau” untuk menerapkan pasal dalam dakwaan, kadang-kadang bagi pemain senior mereka juga menawarkan “Paket sidang” yaitu mengurus sampai vonis. Pembuktian pun tidak jarang JPU memainkan peran yang strategis yaitu dengan mengulur-ulur waktu persidangan, memanipulasi barang bukti, menghadirkan saksi yang tidak capable atau menghalangi saksi hadir supaya keterangan saksi cukup dibacakan (BAP), menerapkan unsur-unsur pidana yang salah dan memperlambat waktu Rentut (Rencana Penuntutan).
Pola Mafia Peradilan di Pengadilan
Pengadilan adalah wilayah yang sakral bagi para pencari keadilan, katanya pengadilan merupakan wilayah netral yang bebas dari pengaruh yang “gitu-gituan”, hampir semua orang cenderung memeilih pengadilan untuk menyelesaikan persoalan baik masalah publik maupun masalah privat karena kesakralannya tersebut.
Tetapi keakralan tersebut sekarang mulai berubah menjadi tempat “persekongkolan” para mafia peradilan. Seperti yang pernah diungkap diatas bahwa keadilan hanya untuk yang ber-uang. Ternyata fakta itu juga terjadi pengadilan sendiri.
Diantara bentuk/pola yang terjadi dipengadilan adalah ketika terjadi pelimpahan perkara, bagian registrasi akan meminta uang kepada akvokat terdakwa ketika registrasi kuasa, ketika akan menentukan majelis hakim khusus pada perkara-perkara yang “basah” biasanya akan dipegang oleh ketua Pengadilan selaku ketua mejelis, ketika akan dibuat putusan JPU atau Advokat yang mempunyai jaringan dengan hakim akan menemui hakim yang bersangkutan untuk melakukan nogosiasi dalam hal menentukan putusan yang akan dijatuhkan, bahkan tidak jarang hakim sengaja menunda pembacaan putusan supaya pihak Terdakwa menemui hakim dan melakukan negosiasi untuk menentukan putusan/vonis, hal yang sangat mengecewakan adalah adanya putusan bebas atau lepas dengan alasan hukum yang kuat dijadikan oleh hakim atau panitera sebagai “ladang dapur” dengan alasan bahwa “uang capek”, biasanya hakim akan menyuruh penitera untuk melakukan hal ini.
Pola Mafia Peradilan di Lembaga Pemasyarakatan
Hotel Prodeo sebagai tempat pembinaan bagi para “Terpidana” ternyata juga tidak luput dari proses pembusukan, bayangkan saja apa yang akan terjadi jika setiap Terpidana selalu dimintakan “uang keamanan”, yang pasti proses pembinaan tidak akan pernah berjalan dengan lancar.
Berikut ada pengalam menarik di beberapa Lembaga Pemasyarakat yang pernah penulis datangi. Ceritanya berawal ketika salah seorang Napi mengeluh bahwa setiap tamu yang membezuk ia, maka untuk satu orangnya ia diharuskan untuk membayar sejumlah uang, jika sitamu hanya berbicara diareal yang dibatasi dengan kerangkeng besi (jeruji) maka yang si Napi harus bayar Rp. 5000,- jika ingin bertatap muka tanpa dibatasi dengan jeruji besi (ruang tamu lepas) ia harus membayar sebanyak Rp. 1000,- bayangkan jika satu minggu dia dibezuk sekitar 5 (lima) orang, dan masa tanahannya adalah 2 (tahun), berapa ia harus membayar kepada sipir?? Selain itu juga ada praktek yang diterapkan di beberapa LP, dimana setiap pintu yang akan dilewati oleh tamu, maka si tamu dikenakan biaya Rp. 10.000,- dengan dalih “uang kebersihan”. Jika dalam satu hari ada sekitar 100 orang yang akan bertamu ke LP, berapa uang yang didapatkan oleh sipir selama satu bulan ??
Selain menarik “retribusi kebersihan”, di LP juga dikenal adanya uang setoran, uang ini diberikan oleh napi kepada sipir secara rutin sebagai uang tutup mulut ketika si napi membawa barang yang dilarang atau untuk mendapatkan fasilitas plus, bentuk lain yang juga berkembang di LP adalah “uang permintaan”, uang ini biasanya ditarik ketika dilakukannya penialan terhadap para napi guna mendapatkan pengurangan masa tahanan.
Pola Mafia Peradilan di Kalangan Advokat
Mafioso di kalangan Advokat mungkin lebih tepat mereka yang dikenal dengan sebutan Advokat Hitam/Black Lawyer (meminjam istilah Miko Kamal, S.H., LL.M)-maaf bukan bermaksud rasis, black lawyer dalam artian melakukan pekerjaan-pekerjaan yang menyimpang dari kode etik advokat, praktek yang biasa terjadi adalah ketika si Advokat memeras kliennya (hal ini terjadi karena besarnya honorarium tidak disepakati dengan tegas), atau bisa juga advokat yang memposisikan deri sebagai “calo perkara” dengan meminta sejumlah uang kepada klien guna pembayaran “uang negosiasi” dengan polisi, jaksa dan hakim.
Mencermati hal diatas, sudah buruk rupanya sistem peradilan di Indonesia, kemana masyarakat pencari keadilan harus mengadukan nasibnya ketika seluruh garda depan penegak hukum telah dirasuki oleh perilaku “Mafia ala Indonesia”. Dengan kondisi diatas, wajar rasanya ketika masyarakat sudah tidak lagi percaya dengan yang namanya “Keadilan”. Karena keadilan sudah menjadi barang dagangan para penegak keadilan dan keadilanpun rupanya hanya berpihak kepada “siber-uang”.
Dengan diangkatnya Issu reformasi peradilan, seharusnya para oknum penegak hukum yang telah tejangkit “kutu-kutu busuk” dan telah mencoreng raut wajah “Dewi Keadilan” seharusnya disingkirkan dari dunia peradilan, ketika mereka masih bercokol dan berkuasa, serta menyebarkan kutu-kutu busuk tersebut maka selamanya keadilan itu tetap akan berpihak kepada yang berkuasa, dengan kata lain simiskin akan semakin tersingkir dan keadilan itu hanya akan menjadi matamorgana yang menipukan mata.
Penulis adalah alumni Fakultas Hukum Unand dan anggota Monitoring Peradilan Masyarakat Anti Illegal Logging (MAIL) Sumbar
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
No Response to "“KETIKA MAFIA MERASUKI DUNIA PERADILAN”"
Leave A Reply