1.20.2010
Dugaan Kasus Korupsi Mantan Wako Bukittinggi: Kejaksaan Tinggi Tidak Tahu Aturan??
Masih jelas diingatan kita, ketika Sution Usman Adji (Mantan Kajati Sumbar) mengumumkan 4 empat Kepala Daerah di Sumatera Barat yang terlibat dalam tindak pidana Korupsi. Mereka adalah Walikota Bukittinggi, Bupati Mentawai, Walikota Sawahlunto dan Bupati Solok. Satu diantaranya telah ditetapkan sebagai Tersangka, yaitu Walikota Bukittinggi Drs. Djufri dan Sekdako Bukittinggi Drs. Khairul pada tanggal 9 Januari 2009 dengan dikeluarkannya surat perintah penyidikan oleh Kajati Sumbar. Sprindik No Print: 15/N.3/Fd/01/2009 atas nama Djufri dan Sprindik No Print: 16/N.3/Fd/01/2009 atas Nama Drs Khairul. Keduanya ditetapkan sebagai Tersangka dalam Pengadaan Tanah untuk Pembangunan Kantor DPRD dan Pool Kendaraan Sub Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Bukittinggi yang diduga merugikan keuangan negara sekitar Rp.1,2 milyar. Pada tanggal yang sama, Sution menyatakan kepada Pers telah mengajukan surat permohonan izin pemeriksaan terhadap Djufri kepada Presiden (sesuai dengan UU No. 32 Tahun 2004). Tetapi ia (Kajati) tidak bersedia memberikan informasi berkaitan dengan Nomor dan isi surat yang dikirimkan ke Presiden (dengan alasan bukan konsumsi publik).
Sebelum dipindahkan ke Kejagung, Sution menyebutkan bahwa untuk kasus Djufri ia telah mengirimkan 3 (tiga) kali surat permohonan, namun sampai sekarang masih belum ada jawaban dari Presiden. Bahkan sudah pula berganti Penjabat Kajati Sumbar kepada Syafril Rustam tidak juga tampak harapan untuk menyelamatkan keuangan negara berkaitan dengan kasus pengadaan tanah yang melibatkan Walikota Bukittinggi.
Namun secercah harapan ditunjukkan oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia dengan mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 9 Tahun 2009 pada tanggal 30 April 2009 tentang Petunjuk Izin Penyidikan Terhadap Kepala Daerah/ Wakil Kepala Daerah dan Anggota DPRD yang isinya memberikan petunjuk terhadap Pasal 36 (1) UU No. 32 Tahun 2004, mengatur bahwa:
Tindakan Penyelidikan dan Penyidikan terhadap Kepala Daerah dan / atau Wakil Kepala Daerah dilaksanakan setelah adanya persetujuan tertulis dari Presiden atas permintaan Penyidik. Selanjutnya dalam Pasal 36 (2) menegaskan bahwa dalam hal persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diberikan oleh Presiden dalam waktu paling lambat 60 (enam puluh) hari terhitung sejak diterimanya permohonan proses penyelidikan dan penyidikan dapat dilakukan.
Pasal 36 (2) UU No. 32 Tahun 2004 tersebut harus ditafsirkan dan perlu diperhatikan adalah tentang “ada/tidaknya permintaan persetujuan yang dilakukan oleh penyidik, jika sudah ada surat permintaan dan telah lewat waktu 60 (enam puluh) hari, maka izin persetujuan penyelidikan/penyidikan dari Presiden menjadi tidak relevan lagi”.
Selain adanya SEMA diatas, Djufri sekarang bukan lagi menjadi Walikota/Kepala daerah, dia telah dilantik menjadi Anggota DPRRI dari fraksi Demokrat, artinya UU Pemda sudah tidak lagi relefan dijadikan sebagai dasar untuk meminta izin pemeriksaan kepada Presiden. Terhadap Djufri sudah berlaku UU No. 27 tahun 2009 tentang Undang-Undang tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Pasal 66 UU No 27 tahun 2009 ayat 3 menyebutkan izin pemeriksaan tertulis dari presiden untuk pemeriksaan terhadap anggota MPR, DPR tidak perlu jika disangka melakukan tindak pidana khusus. Dan berkaitan dengan Kasus mantan Wako Bukittinggi, dia diduga melakukan tindak pidana korupsi. Maka sudah seharusnya Kejaksaan segera melakukan pemanggilan dan pemeriksaan terhadap Djufri.
Anehnya, Kejaksaan Tinggi Sumbar menyebutkan bahwa sampai saat ini mereka masih menunggu izin presiden dan mengirimkan surat permohonan izin baru untuk melakukan pemeriksaan terhadap Djufri. Ada apa dengan kejaksaan, apakah mereka tidak mengerti dengan aturan-aturan hukum, atau ada uang dibalik saku???
No Response to "Dugaan Kasus Korupsi Mantan Wako Bukittinggi: Kejaksaan Tinggi Tidak Tahu Aturan??"
Leave A Reply