1.20.2010

Kejaksaan Tinggi Harus Transparan: Perlihatkan Surat Permohonan Izin Pemeriksaan Kepala Daerah Yang Dikirim Ke Presiden Kepada Masyarakat

Posted on 19.26 by HUKUM HAM DAN DEMOKRASI


Masih jelas teringat ketika mantan Kajati Sumbar Winnedi Darwis sebutkan sedang membidik empat kepala daerah yang ada di Sumbar, diantaranya berada di Bukittinggi, Sawahlunto, Solok dan Mentawai. Keempatnya diduga terlibat dalam kasus korupsi, namun tidak beberapa lama penyataan itu di rubah menjadi bukan empat kepala daerah melainkan empat daerah. Berganti Kajati maka berganti pula Issu, setelah Winnerdi Pindah dan di gantikan oleh Sution Usman Adji, ia menyebutkan sudah mengirimkan surat permohonan izin pemeriksaan beberapa kepala daerah ke Presiden, salah satu diantaranya adalah walikota Bukittinggi yang suratnya dikirimkan pada tanggal 9 Januari 2009. Walikota Bukittinggi segera ditetapkan sebagai Tersangka berdasarkan Sprindik Nomor: Print-15/N.3/Fd.1/01/2009 atas nama tersangka Djufri dan Print-16/N.3/Fd.1/01/2009 dengan tersangka Khairul (Sekda Bukittinggi).

Namun pada saat itu, beberapa elemen mendatangi Kajati dan mempertanyakan keseriusan Kejaksaan untuk mengungkap kasus yang menelan kerugian negara sebesar Rp. 1,2 Milyar. Kenyataan yang diterima bahkan sampai Kajati kembali berganti dari Sution Usman Adji ke Syafril Rustam, masyarakat hanya disuguhi dengan kenyataan “Penetapan hanya sebatas penetapan, dan Izin hanya sebatas pengiriman”. Sampai hari ini (21/1/2010)pun tidak ada kejelasan atas kasus yang diduga menyerap perhatian publik Sumatera Barat tersebut.

Kenyataan yang sangat mengejutkan di paparkan oleh Mendagri Gamawan Fauzi, ia melakukan penelusuran langsung atas izin yang dikirimkan oleh Kejaksaan di Sumatera Barat, dari penelusuran itu ternyata surat permohonan izin pemeriksaan kepala daerah oleh presiden tidak ada. Selain itu melalui stafnya, juga di cek ke Kejagung, faktanya sama tidak ada surat yang naik ke Kejagung (Padek 21/1).

Keterangan Gamawan yang disampaikan dalam dengar pendapat dengan komite I DPD-RI tersebut memberikan bukti kepada kita seperti apa penegakan hukum terhadap “orang-orang yang berkuasa di Sumatera barat dan memberikan gambaran mental penegak hukum di Sumbar”

Untuk pemeriksaan kepala daerah memang diperlukan izin dari presiden sesuai dengan UU No. 34 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, namun jika sudah ada surat permintaan dan telah lewat waktu 60 (enam puluh) hari, maka izin persetujuan penyelidikan/penyidikan dari Presiden menjadi tidak relevan lagi”. Sehingga dapat dilakukan pemeriksaan tanpa izin presiden. Kajati Sumbar dalam persoalan ini masih saja berwacana seputar menunggu izin dari presiden, bahkan Mahkamah Agung pun sudah mengeluarkan SEMA No. 9 Tahun 2009 yang menyebutkan hal yang sama, yaitu untuk pemeriksaan kepala daerah jika sudah ada surat permintaan dan telah lewat waktu 60 hari, maka penyelidikan dan penyidikan bisa dilakukan tanpa ada izin persetujuan dan Presiden.

Berkaitan dengan kasus yang melibatkan Walikota Bukittinggi Djufri yang juga telah ditetapkan sebagai Tersangka oleh Kejaksaan Tinggi Sumatera Barat, perizinan Presiden juga tidak relevan untuk ditunggu, dengan beberapa alasan: (1) jika menggunakan UU Pemerintahan Daerah, masa waktunya sudah lewat, (2) sekarang yang bersangkutan bukan lagi Kepala Derah, melainkan anggota DPR-RI dan terhadapnya berlaku UU No 27 tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Pasal 66 ayat (3) Yang menyebutkan pemeriksaan terhadap anggota MPR, tidak diperlukan izin presiden jika yang bersangkutan (a) tertangkap tangan melakukan tindak pidana (b) disangka melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana seumur hidup atau tindak pidana kejahatan terhadap kemanusiaan dan keamanan negara berdasarkan bukti permulaan yang cukup, atau (c) disangka melakukan tindak pidana khusus.

Untuk itu, kami dari Masyarakat Anti Korupsi Sumatera Barat (AMAK) Sumbar meminta dan mendesak Kejaksaan Tinggi Sumatera Barat:
1. Membuktikan kepada Publik bahwa Kejaksaan memang telah mengirimkan surat permohonan izin terhadap pemeriksaan kepala daerah dengan memperlihatkan surat permohonan yang dimaksud;
2. Segera melakukan pemeriksaan terhadap kepala daerah yang dianggap bermasalah yang surat izinnya telah dikirimkan kepada Presiden;
3. Segera memanggil Djufri dan Khairul untuk diambil keterangannya sebagai Tersangka.

Apabila keterangan dari Gamawan Fauzi pada dengar pendapat dengan Komite I DPD RI benar adanya, maka Kejaksaan Tinggi Sumatera Barat selama ini telah membohongi Publik Sumatera Barat, dan perbuatan itu telah mencederai proses penegakan hukum di Indonesia terkhusus di Sumatera Barat.

Padang, 21 Januari 2010
Hormat Kami,




Rony Saputra
Masyarakat Anti Korupsi
Badan Anti Korupsi (BAKo) Sumbar || KABISAT Indonesia || KAM PRODEO FHUA || Konsorsium Pengembangan Masyarakat Madani (KPMM) || Lembaga Advokasi Mahasiswa & Pengkajian Kemasyarakatan (LAM & PK) FHUA || Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang || Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) Sumbar || UKM Pengenalan Hukum dan Politik (PHP) Unand || Perhimpunan Mahasiswa Tata Negara (PMTN) FHUA || P3SD || Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) FHUA || PUSAKA || Perkumpulan Q-bar Sumbar || TOTALITAS || Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sumbar || Yayasan Citra Mandiri (YCM)


No Response to "Kejaksaan Tinggi Harus Transparan: Perlihatkan Surat Permohonan Izin Pemeriksaan Kepala Daerah Yang Dikirim Ke Presiden Kepada Masyarakat"

Leave A Reply