2.16.2010

Djufri Power: Jaksa pun Lemah

Posted on 16.26 by HUKUM HAM DAN DEMOKRASI


Sumatera Barat pernah menjadi pendobrak pemberantasan korupsi di Indonesia, ketika bersatunya elemen masyarakat dalam mendorong pemberantasan korupsi ditubuh legilatif pada tahun 2002 silam, praktek korupsi yang dikenal dengan sebutan korupsi berjamaah. Namun kejayaan itu semakin lam semakin pudar, Sumatera Barat seperti kehilangan cahaya dalam pemberantasan korupsi, kenapa tidak semenjak tahun 2005 sampai sekarang bisa dihitung berapa para pejabat korup yang diadili. Hebatnya, pemberantasan korupsi yang dilakukan sekarang tidak lebih dari upaya pemenuhan untuk melengkapi persyaratan bahwa aparat hukum di Sumbar sudah bekerja untuk mengurangi praktek-praktek korupsi. Dengan jalan mengadili orang-orang kecil dilingkungan korupsi

Jika dibalik lembar perjalanan pemberantasan korupsi di Sumbar semenjak 2004, kita akan melihat gambaran/pola pemberantasan korupsi yang kompromis. Banyak diantara kasus yang dituntuk oleh kejaksaan berakhir dengan vonis bebas oleh pengadilan. Sehingga banyak pihak memberikan rapor merah terhadap upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh kejaksaan.

Beberapa kasus yang menjadi perhatian public sampai saat ini masih tidak jelas sejauh mana perkembangannya, dan kesemua kasus itu berada ditingkat kejaksaan, sebut saja misalnya kasus meterisasi Penerangan Jalan Umum (PJU) 2006, kasus PAD ‘0’ di Mentawai, kasus Kasus Kakao yang diduga melibatkan Kepala Daerah di Sawahlunto (yang dijerat hanya sampai Kepala Dinas), Kasus Pengadaan computer di Solok, kasus pensertifikatan tanah negara untuk individu di Solok, pengadaan tanah untuk kantor DPRD dan Poll Dinas Pertamanan di Bukittinggi. Dan masih banyak lagi.

Hampir dari semua kasus di atas melibatkan kepala daerahnya, tapi sampai saat ini tidak ada kejelasan atas perkembangan kasus tersebut, semuanya ngambang, menguap seperti embun di pagi hari yang disapu sinar matahari.

Salah satu yang paling menarik adalah kasus yang melibatkan salah seorang mantan kepala daerah Bukittinggi, Djufri. Pada saat masih menjabat sebagai Walikota dia ditetapkan sebagai Tersangka oleh Kajati Sumbar bersama dengan Sekretaris Kota Bukittinggi khairul atas dugaan kasus korupsi “Pengadaan tanah untuk Kantor DPRD dan Pool Kendaraan Sub Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Bukittinggi”, terjadi pada tahun 2007 dengan anggaran Rp.9 Milyar.

Pada awalnya yang ditetapkan sebagai tersangka adalah Drs. Anderman, M.Si (mantan Camat Mandiangin Koto Selayan), Drs. Wasdinata (mantan Kabag Pemerintahan), Asmah Hadi, SH (Kabag Hukum), Unggul, S.Sos, M.Si (Staf Keuangan), Ermansyah (Lurah Manggih Gantiang), Darma Putra (Lurah Cimpago Guguak Bulek). Keenam orang tersebut di sidangkan di Pengadilan Negeri Bukittinggi. Pembacaan dakwaan pada tanggal 10 November 2008, eksepsi Penasehat Hukum tanggal 24 November 2008, pembacaan Putusan Sela oleh Majelis Hakim tanggal 1 Desember 2008, pemeriksaan saksi sebanyak 5 orang tanggal 12 Desember 2008, dan lanjutan pemeriksaan saksi tanggal 16 Desember 2008. Selesai pemeriksaan saksi, pada persidangan tanggal 16 Desember 2008 keenam orang terdakwa dikabulkan penangguhan penahanannya oleh Majelis Hakim lewat Surat Penetapan No: 197 dan 196/Pen.Pid/2008/PN.BT tertanggal 16 Desember 2008. dan akhirnya mereka diputuskan bebas oleh Majelis Hakim Pengadilan Bukittinggi.

Berdasarkan bukti-bukti yang didapat dari penyidikan sampai pemeriksaan hingga ke persidangan dari keenam terdakwa kasus korupsi dalam pengadaan tanah untuk Kantor DPRD dan Pool Kendaraan Sub Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Bukittinggi tersebut maka terungkap adanya keterlibatan Walikota Bukittinggi Drs. Djufri bersama Sekda Kota Drs. Khairul karena dalam kegiatan pengadaan tanah tersebut ternyata Drs. Djufri bertindak selaku penanggungjawab kegiatan dan Drs. Khairul sebagai ketua panitia pengadaan. Untuk dugaan kasus korupsi dalam pengadaan tanah yang melibatkan Walikota dan Sekda Kota Bukittinggi ini, penyidikannya diambil alih oleh Kejati Sumbar.

Pada tanggal 9 Januari 2009 Kejati Sumbar mengeluarkan Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) Nomor Print:15/N.3/Fd/01/2009 untuk Drs. Djufri dan untuk Drs. Khairul dengan Sprindik Nomor Print:16/N.3/Fd/01/2009. Lewat surat tersebut pihak Kejati Sumbar langsung menetapkan status keduanya sebagai tersangka. Jaksa Penyidik untuk penyidikan kasus yang melibatkan Walikota dan Sekda Kota Bukittinggi ini adalah Yusnedi Yakub, SH, Imme Kirana, SH. Rencananya kedua tersangka akan dijerat dengan Pasal 2 UU TPK jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Karena pada penetapan status Tersangka terhadap Djufri, yang bersangkutan menjabat sebagai walikota, maka pada tanggal 9 Januari 2009, Kejaksaan Tinggi mengirimkan surat permohonan/izin pemeriksaan terhadap Djufri kepada Presiden RI, sesuai dengan perintah UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Dalam UU 32 Tahun 2004 pasal 36 menyebutkan (1) Tindakan penyelidikan dan penyidikan terhadap kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah dilaksanakan setelah adanya persetujuan tertulis dari Presiden atas permintaan penyidik. (2) Dalam hal persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diberikan oleh Presiden dalam waktu paling lambat 60 (enam puluh) hari terhitung sejak diterimanya permohonan, proses penyelidikan dan penyidikan dapat dilakukan.

Ayat (2) UU No. 32 Tahun 2004 memberikan pengertian, jika dalam waktu 60 hari Presiden tidak mengeluarkan izin, maka Kejaksaan selaku penyelidik dan penyidik sudah dapat melakukan tindakan hukum, berupa pemeriksaan. Hal ini juga diperkuat oleh Surat Edaran Mahkamah Agung No 9 Tahun 2009 yang dikeluarkan pada 30 April 2009 menyebutkan “ada/tidaknya permintaan persetujuan yang dilakukan oleh penyidik, jika sudah ada surat permintaan dan telah lewat waktu 60 (enam puluh) hari, maka izin persetujuan penyelidikan/penyidikan dari Presiden jadi tidak relevan lagi”.

SEMA ini seharusnya sudah menjadi jawaban atas keraguan Kejaksaan untuk melakukan pemeriksaan terhadap Djufri pada waktu itu. Namun sekarang kondisinya sudah berbeda, Djufri sudah tidak lagi menjadi Walikota atau lebih disebut sebagai mantan Walikota, karena yang bersangkutan telah terpilih menjadi anggota DPRRI dari Partai Demokrat. Sehingga status pemeriksaan atas dasar UU No 32 Tahun 2004 sudah tidak berlaku bagi yang bersangkutan. Selaku anggota Dewan, jika ia akan diperiksa maka yang berlaku adalah UU No 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPD, DPR dan DPRD (MD3). Pasal 220 ayat (3) Yang menyebutkan pemeriksaan terhadap anggota MPR, tidak diperlukan izin presiden jika yang bersangkutan (a) tertangkap tangan melakukan tindak pidana (b) disangka melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana seumur hidup atau tindak pidana kejahatan terhadap kemanusiaan dan keamanan negara berdasarkan bukti permulaan yang cukup, atau (c) disangka melakukan tindak pidana khusus. Tindak pidana Korupsi sebagaimana kita ketahui merupakan tindak pidana khusus, sebagaimana yang tertuang dalam UU No 31 Tahun 1999 yang dirubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Sudah seharusnya, Kejaksaan berfikir Progresif dalam pemberantasan Korupsi dan tidak melihat undang-undang menggunakan kacamata kuda. Sebagai salah satu pilar penegak hukum, Kejaksaan seharusnya lebih maju dari Komisi Pemberantasan Korupsi.

No Response to "Djufri Power: Jaksa pun Lemah"

Leave A Reply