12.21.2010

BUDAYA (ANTI) KORUPSI

Posted on 02.01 by HUKUM HAM DAN DEMOKRASI

Oleh: Roni Saputra
Budaya berasal dari bahasa Sanskerta yaitu buddhayah, yang dapat diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia, secara umum budaya merupakan cara hidup yang berkembang dan dikiliki bersama oleh sekelompok orang/masyarakat dan diwariskan dari generasi ke generasi. Disebutkan bahwa budaya itu bersifat komplek, abstrak dan luas. Bronislaw Malinowski mengatakan ada 4 unsur pokok yang meliputi: 1) sistem norma sosial yang memungkinkan kerja sama antara para anggota masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan alam sekelilingnya, 2) organisasi ekonomi, 3) alat-alat dan lembaga-lembaga atau petugas-petugas untuk pendidikan dan 4) organisasi kekuatan (politik).

Sebagian besar orang sudah pula mengkaitkan korupsi sebagai budaya, sehingga sudah barang tentu tidak bisa dihilangkan. Jika Korupsi sudah dianggap sebagai budaya, maka korupsi disebut sebagai buah budi atau akal fikiran yang sudah diaggap sebagai norma yang lazim untuk ditaati. Padahal kita tahu bahwa Korupsi itu adalah tindak kejahatan, yang dalam bahasa latinnya disebut corruptio yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan atau menyogok. Secara harfiah, korupsi dapat diartikan sebagai perilaku pejabat publik, baik politikus/politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka. Selain itu hukum memandang bahwa korupsi itu sebagai perbuatan melawan hukum dengan melakukan penyalahgunaan kewenangan, kesempatan dan atau sarana guna memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi sehingga merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Dengan demikian, sudah dapat dikatakan bahwa Korupsi merupakan kejahatan yang luar biasa dan kejahatan terhadap kemanusiaan, tidak berbeda dengan Terorisme.

Jika kita sudah menganggap Korupsi sebagai budaya, maka tidak ubahnya kita telah mendeklarasikan diri sebagai negara yang bebas dari aturan yang menuju ke arah kleptokrasi.

Kemunculan dari istilah Budaya korupsi ini memang tidak terlepas dari lambannya pemberantasan tindak pidana korupsi oleh aparat hukum di negeri ini, ditambah lagi dengan sudah menjamurnya perbuatan-perbuatan kotor tersebut di tengah masyarat, korupsi sudah tidak saja terjadi di level elite tetapi sudah masuk sampai ke tingkat terendah dalam sistem kepemerintahan, jika dulu lingkaran korupsi hanya diseputaran eksekutif, legislatif, sekarang ditingkat yudikatifpun sudah terjadi tindak pidana korupsi yang dikenal dengan istilah pemberantasan korupsi yang menimbulkan korupsi baru, alih-alih untuk memberantas korupsi, yang ada malah korupsi baru yang terjadi, begitu pandangan masyarakat terhadap lembaga yudikatif sekarang. Ditambah lagi dengan munculnya polemik besar ditahun 2009 dan 2010 ini, ada upaya-upaya signifikan yang dilancarkan oleh Koruptor dan kroninya untuk memangkas kewenangan KPK bahkan sampai berencana untuk membuat KPK tidak bernyali untuk memberantas Korupsi, diantara rentetan itu yang terkenal adalah lambannya pengesahan RUU Pengadilan Tipikor, kriminalisasi dua (2) orang pimpinan KPK termasuk lambannya pemilihan Ketua KPK pengganti Antasari sampai dengan saat ini, pimpinan KPK terpilih hanya diberi waktu satu (1) tahun untuk memimpin lembaga yang ditakuti oleh para Koruptor itu.

Lain dari pada itu, saat ini kita juga disuguhi oleh skenario baru berupa lambannya proses hukum serta penindakan terhadap Koruptor yang diduga sudah merugikan perekonomian negara, dengan alasan yang beragam, mulai dari banyaknya kasus yang sedang ditangani oleh lembaga penegak hukum, saksi-saksi tidak mencukupi, alat bukti kurang, atau belum adanya penghitungan kerugian keuangan negara oleh lembaga yang berwenang, bahkan sampai kepada kurangnya kewenangan lembaga itu, sehingga Tersangka belum bisa ditetapkan dan proses hukum terhenti untuk sementara sampai batas waktu yang tidak ditentukan.
Yang tidak kalah menariknya saat ini adalah ada beberapa kasus yang Tersangkanya sudah ditetapkan tetapi tidak ditahan, bahkan ada yang ditahan tetapi status penahanannya adalah tahanan Kota dengan alasan bahwa yang bersangkutan Kooperatif, menepati janji, tidak akan menghilangi barang bukti, dan alasan-alasan hukum lainnya. Hal yang berbeda dirasakan oleh mereka (masyarakat umum) yang disangka melakukan tindak pidana pencurian/jambret/perampokan. Seketika itu setelah ditangkap dan ditetapkan sebagai Tersangka, ia langsung di inapkan dirumah tahanan negara sampai dengan pengadilan mengeluarkan putusan. Padahal patut kita ketahui bahwa Korupsi, maling, rampok dan jambret itu adalah sama-sama kejahatan yang melawan hukum, sama-sama diatur dalam Undang-undang, bahkan Korupsi disanksi lebih berat dari pencurian, penjambretan ataupun perampokan, tetapi kenapa perlakukannya berbeda? Kenapa orang yang diduga Korupsi lebih manusiawi perlakuannya? Jelas-jelas negara sangat dirugikan oleh tindakan yang Koruptif tersebut, apakah karena Pelakunya didominasi oleh orang-orang yang berkuasa? Jika memang demikian, maka sudah barang tentu negeri ini tidak akan pernah selamat dari Koruptor.

Tidak jauh berbeda dari hal diatas, sehari-hari masyarakat juga melihat ternyata tuntutan bahkan sampai putusan pengadilan jarang yang setimpal dengan perbuatan para Koruptor itu, tidak sedikit mereka hanya dituntut dengan sanksi yang pas-pasan sesuai ancaman minimal dalam undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi bahkan kadang kala adapula yang dituntut dibawah ancaman minimal serta diiringi dengan putusan yang terkesan juga pas-pasan, bahkan ada kasus dimana Terdakwa diputus hanya lima (5) bulan oleh pengadilan, atau hanya satu (1) tahun saja, sedangkan kerugian yang ditimbulkan oleh mereka mungkin lebih dahsyat dari pada terorisme atau pencurian. Untuk kasus teroris misalnya, Pengadilan Negeri Jakarta Barat menjatuhkan vonis terhadap enam orang terdakwa mulai dari 7 tahun sampai dengan 9 tahun dari tuntutan Jaksa Penuntut umum 10 sampai 15 tahun, sedangkan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memvonis Lambertus Terdakwa Korupsi dengan penjara hanya tiga (tiga) tahun dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum hanya enam (6) tahun, dan di Pengadilan Negeri Payakumbuh hanya menjatuh vonis kepada “AS” terdakwa Korupsi penyimpangan keuangan Satpol PP selama satu (1) Tahun dari Tuntutan Jaksa Penuntut Umum yang hanya selama 1 tahun 6 bulan.

Sepertinya menjadi seorang Koruptor di negeri ini sudah sangat biasa saja, selain hukuman yang minimal bahkan bisa bebas atau bisa sampai pada tingkatan tidak akan diperiksa dengan berbagai alasan, pemerintahpun sepertinya hanya gencar untuk membuat aturan dan program pemberantasan korupsi tetapi tidak benar-benar menerapkan prinsip-prinsip aturan tersebut.

Menuju Tataran Ideal Pemberantasan Korupsi
Idealnya pemberantasan Korupsi ini menjadi agenda bersama baik pemerintah, masyarakat terutama aparat pegak hukum. Aturan-aturan hukum yang sudah ada seharusnya benar-benar dilaksanakan tanpa pilih kasih, bahkan sanksi maksimal harus diberikan oleh Hakim, sehingga efek jera yang diharapkan dapat terlaksana dengan baik.

Perlakuan terhadap para koruptor haruslah sama dengan pelaku terorisme, jika pemerintah mewacanakan tidak akan memberikan pengurangan hukuman walaupun mereka berkelakuan baik, maka terhadap para koruptor juga harus seperti itu. Khusus pada tingkat penyidikan dan penuntutan aparat hukum diwajibkan untuk tidak memberikan penangguhan penahanan ataupun pengalihan status, jika ada aparat penegak hukum yang memberikan penangguhan penahanan ataupun pengalihan status tahanan maka terhadap yang bersangkutan harus diberikan sanksi yang tegas. Sanksi lain yang pelu dijatuhkan adalah pemiskinan yang masif kepada para koruptor tersebut dengan cara menyita seluruh harta kekayaan yang dimiliki. Jika pemerintah tidak melakukan itu nicaya budaya anti korupsi bisa diterapkan, dan masyarakat akan berpendapat bahwa benar kita telah menganut budaya korupsi.

No Response to "BUDAYA (ANTI) KORUPSI"

Leave A Reply