7.04.2008
Potensi dan Kearifan Lokal Masyarakat Jorong Lubuak Simato Dalam Mengelola Sumberdaya Alam
Posted on 02.05 by HUKUM HAM DAN DEMOKRASI
Jorong Lubuak Simato, dikenal dengan negeri yang arif dalam mengelola sumberdaya alamnya. Daerah yang berada diantara bukit-bukit, menjadikan Jorong Lubuak simato kaya akan sumber hutan dan air. Hasil yang paling banyak dikeluarkan dari hutan tersebut adalah Gambir, sedang potensi Sumberdaya air berasal dari Bukit Sarasah dan bukit Pancang yang dimanfaatkan oleh masyarakat Lubuak Simato untuk kebutuhan air bersih, mengairi sawah, usaha peternakan ikan dan ayam yang merupakan sumber ekonomi bagi masyarakat Jorong Lubuk Simato.
Dalam pengelolaan dan pemanfaatan hutan dan tanaman gambir, masyarakat mempunyai cara dan kearifan lokal tersendiri. Pemanfaatan hutan sebagai lahan perkebunan gambir, masyarakat mengunakan sistim/pola tebang pilih, yaitu hanya jenis kayu/pohon kecil yang boleh ditebang sampai dengan ketingian 500 M, dihitung dari pemukiman penduduk. Selain itu, kayu yang telah di tebang wajib diganti kembali dengan jenis kayu lainnya. Sistim pengelolaan hutan seperti ini dilakukan oleh masyarakat semenjak dahulu. Selain karena kondisi daerahnya berada di bawah bukit-bukit, yang rentan dengan banjir jika tidak ditopang oleh hutan yang lebat, juga karena keberadaan hutan di Bukit Sarasah merupakan daerah tangkapan air untuk Jorong Lubuak Simato dan daerah sekitarnya.
Pengolahan gambir dilakukan oleh masyarakat Lubuak Simato secara tradisional dan langsung di daerah penanaman. Tanaman Gambir baru bisa dipanen setelah gambir berusia 18 bulan, proses perawatannya pun tidak terlalu sulit, yang terpenting adalah bagaimana kita bisa merawatnya dan “menyianginya”. Hal yang unik adalah pembibitan dari tanaman gambir ini sendiri, yaitu disemai/ditabur dengan cara ditiupkan ke pinggir tanah dengan kemiringan 900.
Pagi itu, pukul 7.00 WIB, seorang pemuda telah bersiap-siap untuk pergi kehutan bukit sarasah untuk mengolah Gambir, sebilah sabit terapanjang dipinggang dan sebungkus nasi dimasukkkan kedalam tas yang berada di punggung. Dengan langkah yang tegap mulai meninggalkan rumah. Sekitar jam 9.00 WIB si Pemuda tadi sampai disebuah pondok yang dikelilingi tanaman Gambir yang oleh mereka pondok tersebut diberi nama Kampan, yaitu pondok yang digunakan sebagai tempat untuk mengolah hasil gambir ”Mangampo”. Kampan yang berukuran kira-kira 3.5x2.5 M memiliki dua tingkat, dengan tiga ruang, ruang depan tempat memasak gambir, ruang belakang lantai satu tempat menampung air hasil rebusan gambir dan ruang belakang lantai dua untuk istirahat dikala malam. Di Kampan yang cukup sederhana itu terdapat alat-alat yang digunakan untuk mengampo18) dan masih begitu orisinil, yaitu kapuak/tempat panen daun gambir/keranjang, gancah/kuali besar yang biasa dipakai orang untuk perhelatan tetapi tidak memiliki telinga, paku/bak tempat penyaringan getah gambir, kapuak panirih/alat untuk memisahkan getah dengan air dan cupak/alat untuk mencetak gambir, serta tidak ketinggalan Dongkrak, untuk memeras getah gambir setelah dimasak di dalam gancah.
Dalam memanen hasil gambir, biasanya dilakukan oleh dua orang, mereka memiliki panggilan-panggilan khusus, seperti; Nodo, ia bertugas sebagai ”pengampo” mulai dari proses perebusan daun gambir didalam Gancah, menggampo daun hasil rebusan dengan alat gampo, mengumpulkan getah di Paku danmemisahkan getah gambir dengan air dengan kapuak panirih sampai dengan mencetak gambir dengan cupak.
Orang kedua dalam pengolahan Gambir dipanggil dengan Anak Kewi, ia bertugas hanya untuk memanen daun gambir dengan memakai Kapuak. Anak Kewi memulai tugas mengumpulkan daun gambir disekitar Kampan hingga ketempat yang cukup jauh, sampai-sampai untuk memanggil atau memandakan daun gampir yang diolah sudah habis, Nodo meniupkan terompet yang terbuat dari tanduk kerbau. Dalam satu hari mereka dapat menghasilkan 20-25 kilo gambir siap untuk di Pasarkan.
Pengolahan gambir biasaya langsung dilakukan di lahan dan kebiasaan kaum laki-laki yang bekerja di sektor pengolahan gambir akan berangkat ke lahan pada hari sabtu dan kembali ke Jorong/kampung pada kamis sore, hari jumat merupakan hari untuk bertransaksi hasil gambir serta hari untuk meningkatkan keimanan kepada Tuhan. Sampai sekarang tidak pernah ada orang yang berladang pada hari Jumat tersebut. Setelah hasil gambir dijual, maka proses pembagian hasilpun berlangsung. Karena lahan yang diolah dimiliki oleh orang lain, maka pembagian hasil antara pekerja gambir dengan pemilik lahan adalah 50:50. Bentuk perjanjian bagi hasil inipun hanya dalam perjanjian lisan dan ini telah dilakukan turun temurun.
Pengelolaan Sumberdaya Air
Lubuak Simato, jorong yang dilingkari oleh perbukitan, airnya berasal dari mata air Bukit Sarasah dan bukit Panjang. Aliran air dari bukit ini sangat dibutuhkan sekali oleh masyarakat baik untuk persedian air bersih, irigasi maupun untuk kebutuhan untuk usaha peternakan, karena perekonomian masyarakat di Lubuak Simato selain perkebunan gambir, mereka juga beternak ayam dan perikanan.
Pengelolaan air yang dilakukan masyarakat di Jorong Lubuk Simato sebenarnya tidak jauh beda dengan apa yang dilakukan oleh PDAM tetapi dilakukan dengan swadaya, yaitu dengan membuat aliran air berupa berupa pipa besar dan bendungan sebagai tempat penampungan air, aliran pipa ini dimulai dari sumber mata air yaitu di puncak bukit sarasah sampai ke tempat pemampungan air yang jaraknya lebih kurang 4-5 Km dengan kemiringan 700. Pekerjaan ini dilakuan dengan gotong royong, hampir seluruh anggota masyarakat baik lali-laki dan perempuan saling bahu-membahu menyelesaikan proyek swadaya ini. Pembangunan dimulai pada tahun 2002, efektif dinikmati oleh masyarakat pada bulan Januari 2003. Awalnya, pembangunan tersebut banyak mendapat tantangan dan dicemoohan oleh sebagian masyarakat bahkan juga datang beberapa orang pemuka masyarakat Kenagarian. Namun dengan kegigihan dan rasa kebersamaan yang tinggi, lebih kurang dalam kurun waktu satu tahun masyarakat Lubuak Simato telah dapat menikmati air bersih sebagai buah dari kebersamaan yang dilakukan secara swadaya tanpa bantuan dana sepersen-pun dari pihak luar.
Dalam pengelolaan air, perempuan memiliki peran yang patut diberikan acungan jempol, mereka ikut berpartisipasi dalam pembuatan jalur air, mulai dari tahap awal pembukaan jalur air dari Bukik Sarasah sampai dengan pembuatan jalur air ke rumah-ruamh masyarakat. Bahkan dalam kehidupan sehari-hari, kita akan sulit menemukan perempuan di Jorong Lubuak Simato yang hanya duduk dirumah sampil mencari “kutu”. Mereka tidak mau ketinggalan dalam hal bekerja. Dan berpartisipasi membangun Jorong. Peran perempuan seperti ini sangat minim kita temukan dalam kehidupan masyarakat sekarang. Ini merupakan kearifan lokal yang perlu dijaga dan dilestarikan.
Pengelolaan air bersih di Lubuak simato yang dilakukan secara swadaya tidak hanya sebatas membangun dan mengaliri kerunah-rumash saja, secara musyawarah, mereka membentuk kelompok pengelola yang bertugas mengontrol, memelihara dan membangun sambungan baru kerumah-rumah yang membutuhkan air bersih.
Hasil musyawarah masyarakat, akhirnya terbentuk wadah/ organisasi yang bernama BPSABS (Badan Pengelola Sarana Air Bersih dan Sanitasi) Jorong Lubuak Simato. BPSABS merupakan organisasi yang bersifat sosial, bertujuan untuk memenuhi kebutuhan kehidupan masyarakat dan meningkatkan kesehatan serta kesejahteraan masyarakat melalui ketersediaan air bersih (Ronny).
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
No Response to "Potensi dan Kearifan Lokal Masyarakat Jorong Lubuak Simato Dalam Mengelola Sumberdaya Alam"
Leave A Reply