11.28.2008

REVOLUSI DAN PRAKSIS ANARKIS

Posted on 01.26 by HUKUM HAM DAN DEMOKRASI

Marxisme dan Postmodernisme, 
Dilihat dari Indonesia di Tahun 1993
Oleh : *Goenawan Mohamad

"Membentuk kembali hidup! Orang yang bisa omong begitu tak pernah paham sedikitpun apa itu hidup -- mereka tak pernah merasakan nafasnya, jantungnya..." –- Dr. Zhivago.

Antara 1917 dan 1993 telah terjadi dua peristiwa besar yang berhubungan dengan agenda "membentuk kembali hidup." Yang pertama ialah sebuah revolusi atas nama Marxisme, yang berlangsung sebagai "sepuluh hari yang mengguncangkan dunia", seperti ditulis oleh John Reid. Yang kedua ialah sebuah perubahan yang tak kalah mengguncangkannya, yang menunjukkan kekecewaan dan penolakan keras terhadap revolusi itu: Rusia (dan dalam batas tertentu juga Cina) membatalkan banyak hal dalam agenda Marxisme.

Guncangan-guncangan besar: Marxisme adalah harapan dan keyakinan penting selama kurang-lebih satu setengah abad, sesuatu yang demikian keras, tapi ternyata dalam bentuknya yang dicoba dalam suatu transformasi social dengan cepat merapuh. Selama beberapa tahun terakhir ia telah didiskreditkan secara luas (simbol paling menonjol, bagi saya, ialah diubahnya kantor Partai Komunis menjadi bursa saham di Warsawa, Polandia), dan hampir di seluruh dunia tidak terdengar lagi rencana Marxis untuk "mengubah dunia." Yang tersisa adalah "menerangkan dunia" terutama di jurnal-jurnal pemikiran dan seminar-seminar ketika politik sayap kiri merosot, atau mengalami perubahan diri, di pelbagai penjuru.
Maka apa gerangan yang kita hadapi, dan bisa dilakukan? Pertanyaan ini penting, juga di Indonesia: kita tahu di sini pengaruh Marxisme, sisa-sisanya dalam pemikiran kita, tak bisa diabaikan. Marxisme tidak sekedar membayang dalam tulisan-tulisan Bung Karno sebelum kemerdekaan, ia pernah dicoba--setidaknya sebagian unsurnya, mungkin juga sebersit semangatnya--dengan mempraktekkan "sosialisme Indonesia" dan "ekonomi terpimpin." Ia pernah menjadi inti dari pemikiran Partai Sosialis Indonesia dan Partai Komunis Indonesia, dan ia pernah menjadi bagian sentral dalam bahan-bahan yang diajarkan secara luas tentang "ideologi negara" di tahun 1960-an (yang disebut "Tujuh Bahan Pokok Indoktrinasi"). Di akhir tahun 1960-an paham ini dilarang dan pada gilirannya paham yang dilarang itu memikat banyak anak muda dan cendekiawan Indonesia secara diam-diam, hingga sekarang, sebagai sejenis pernyataan pembangkangan, apalagi di sebuah masyarakat yang mulai mengalami secara nyata gerak kapitalisme, dan masih punya masalah distribusi pendapatan yang menajam.
Tapi ini 1993. Bukan maksud saya untuk berbicara tentang "akhir sejarah" di sini, tetapi nampak suatu kecenderungan yang jelas, terutama di dekat kita : setelah Marxisme tersingkir dan ditinggalkan, yang menggantikan (di Rusia, di Cina dan agaknya boleh dikatakan pula di Indonesia) ialah sejenis sikap pragmatik, kerja yang tak mengedepankan persoalan benar atau tidak menurut suatu doktrin atau asas, baik atau tidak menurut satu ajaran; kriteria legitimasinya hampir sepenuhnya dikaitkan dengan hasil atau performativitas. Dalam pelbagai variasinya sebenarnya yang terjadi sekarang ialah semacam pemborjuisan (embourgoisement) dunia: sebuah proses yang menampakkan ciri-ciri modernitas yang dikenal dalam buku-buku sejarah ketika borjuasi Eropa mengambil peran dan mengubah permukaan bumi "sesuai dengan citranya", untuk meminjam kata-kata Marx. Dengan kata lain, menjadi semakin berperannya rasionalitas, dalam arti kebebasan dari ilusi dan takhayul, dan meluasnya desakralisasi lingkungan sosial dan alam, juga bangkitnya etos tentang obyektifitas ilmiah.

Habisnya Subyek yang Otonom
Tapi tentu tidak semuanya memikat, membebaskan: rasionalitas yang mencuat dalam proses seperti itu terutama ialah apa yang disebut Weber sebagai Zweckrationalitat, "akal yang instrumental", jenis rasionalitas yang berlaku tatkala kita memilih cara yang paling efisien ke arah tujuan yang sudah ditentukan lebih dulu. Rasionalitas dalam arti inilah yang didapatkan dalam peningkatan efisiensi ekonomis dan administratif. Rasionalitas juga bisa mencakup wilayah yang lebih luas: berlakunya tatanan yang koheren dan sistematis di atas hiruk-pikuk dan centang-perenangnya pelbagai ragam keyakinan, motif, situasi dan pengalaman. Dengan rasionalitas ini, berlakulah hukum yang formal, berlakulah aturan yang dikenakan untuk siapa saja dan kapan saja. Dengan rasionalitas ini, berlakulah hukum yang formal, berlakulah aturan yang dikenakan untuk siapa saja dan kapan saja. Dengan rasionalisasi itu pula lahir birokrasi modern, lahir pula ide-ide dan kemampuan untuk kontrol dan perencanaan. Juga: penertiban atas impuls-impuls individu, atas imajinasi dan kehidupan simbolik yang terkadang membuncah ke mana-mana bagaikan semak belukar.
Sering kita, yang ingat akan keinginan S. Takdir Alisjahbana dalam Polemik kebudayaan berkenaan dengan pilihan Indonesia di masa depan, mendapat kesan bahwa Weber mengisyaratkan modernitas sebagai pembuka jalan ke sebuah dunia yang lebih lapang: tidak lagi terbuai oleh dongeng, dogma (lama) dan lindungan kolektifitas dan rahim alam; Weber nampak tetap sebagai seorang pemikir dalam kancah Aufklärung, yang menganggap bahwa lepasnya manusia dari buaian --the disenchantment of the World-- memberi manusia kesempatan untuk mengisi dunia yang dikosongkan dari makna dan nilai lama. Di hadapan gerbang yang terbuka itu, suatu proses "pencerahan" pun berlangsung, suatu struktur kognitif yang baru muncul, yang mendasari lahirnya ilmu modern, rasionalisasi hukum, yang melepaskan "legalitas" dari "moralitas", disertai pembebasan seni dari konteks agama sehingga memperoleh kesadarannya untuk berkembang mandiri, tidak lagi menjadi kriya yang melayani fungsi praktis. Namun pada dasarnya Weber seorang pesimis: baginya, dalam proses rasionalisasi, ideal tentang individu yang otonom --setelah dilanda oleh formalisasi, instrumentalisasi, dan birokratisasi-- menjadi sesuatu yang salah waktu.
Pesimisme, atau kesangsian, atau pertahanan, terhadap proses rasionalisasi itu bukan cuma milik Weber, tentu. Di Barat sejumlah pemikir dan penyair berkali-kali memperdengarkan duka dan kecewanya ketika, dalam kata-kata Walter Benjamin, "berbicara tentang kemajuan, kepada dunia yang tenggelam ke dalam ketegaran kematian." Di Indonesia sendiri kita telah mendengar kecemasan seperti itu sejak dasawarsa awal abad ke-20, dalam pemikiran Sanusi Pane, misalnya, dalam menghadapi gerak modernisasi Alisjahbana. Kini pun gugatan terhadap "proyek modernitas" itu nampak lagi, dengan hasrat akan kepastian baru (misalnya dalam gerakan "fundamentalisme" agama) setelah krisis normativitas terjadi. Reaksi lain bias berupa semangat irasionalisme, penampikan kepada konseptualisasi pengalaman, ekspresi yang hanya menggunakan mitos lama atau pun baru. Atau sejenis "fondasionalisme": kecenderungan mengintegrasikan kembali, dengan memberikan satu fondasi simbolik, diferensiasi dan keterpisah-pisahan yang lazim terjadi ketika masyarakat bergerak ke arah modern; dalam ikhtiar ini terjadilah penyusunan sebuah "ideologi" umpamanya, seperti yang di Indonesia kini terjadi dengan Pancasila. Reaksi lain terhadap "proyek modernitas" lebih gampangan: kita mendengar, dengan pelbagai versinya, suara pertahanan (atau perlawanan) terhadap "Barat."
Tentu saja "Barat" adalah sebuah kata yang tak jelas artinya. Tetapi memang dari sejarah Eropa kita dapat menyimak, bahwa ada problem-problem yang timbul ketika Zweckrationalitat itulah yang menang --dalam arti memenangkan dan dimenangkan—- dalam proses ketika dunia modern masuk.
Secara agak menyederhanakan bisa dikatakan bahwa "akal yang instrumental" ini, seperti dirumuskan oleh Habermas dalam Teori Aksi Komunikatif, ada hubungannya dengan "paradigma filsafat kesadaran", ada hubungannya dengan konsepsi "subyektifitas" yang tidak dialogis, yang merupakan inti dalam pemikiran Barat sejak Descartes: dunia yang dihadirkan kepada sang subyek adalah sebuah jalan ke arah tujuan yang dikehendaki sang subyek. Nalar, dengan demikian, bertumbuh dalam kerangka hubungan cara-dan-tujuan, yang dibentuk oleh dorongan sang subyek untuk menguasai sebuah lingkungan yang pada hakikatnya asing dan ada di luar dirinya. Pemikiran berarti juga comprendre atau begriefen, menangkap, merengkuh, menguasai, "menjinakkan."
Sinyalemen tentang hal itu tentu saja bukan hanya oleh Habermas dan juga bukan hal yang baru. Dalam abad ini kita pernah mendengarnya dari Heidegger dan kemudian, sejak beberapa dasawarsa terakhir, dari para pemikir yang digolongkan ke dalam kalangan "post-strukturalis"--dan bahkan juga dari pemikir Marxis, khususnya dari dua orang wakil terkemuka Mazhab Frankfurt, Adorno dan Horkheimer. Kata "bahkan" barusan tadi harus saya tambahkan, karena sementara Marxisme adalah sebuah kritik yang utama terhadap arus modernitas yang nampak di Eropa semenjak dua abad yang lalu, ia pada umumnya tidak merupakan suara yang masgul, ala Weber, dalam memandang berjalannya "proyek modernitas" semenjak Pencerahan. Bahkan meskipun sekarang bias diduga banyak suara kaum Marxis, atau Marxisan akan mengecam pemburjuisan dunia, pandangan Marx sendiri (ketika ia di tahun 1853 berbicara tentang akibat pemerintahan kolonial di India) ada yang menunjukkan kecenderungannya untuk melihat penetrasi kapitalisme, yang dibawa kolonialis Eropa ke dalam "modus produksi Asiatik", mempunyai peran yang progresif--karena mengubah cara produksi dan memperkenalkan teknologi.
Kenapa? Pada hemat saya hal ini akan menjadi lebih jelas apabila kita mengikuti pertentangan yang belum juga habis, hingga kini, antara para pemikir Marxis dan pelbagai jenis pernyataan pemikiran "postmodern." Berbicara di tahun 1993, rasanya tidak banyak manfaatnya (dan lagipula tak cukup waktu) kita mengulang semua segi polemik yang tersohor itu. Tetapi ada satu hal yang saya kira layak ditelaah, terutama dalam perspektif kita yang sekarang hidup di Indonesia: setelah Marxisme, setelah mendengar begitu banyak argumen tentang "akhir ideologi" dan cetusan pemikiran "postmodernisme", proyek emansipasi apa lagi yang bisa dihadirkan di sebuah dunia yang masih menyaksikan pengisapan, kesewenang-wenangan, ketidakbebasan? Dengan kata lain, bisakah kita kini berbicara tentang memperbaiki atau "membentuk kembali hidup" seraya tetap merasakan "nafas" dan "jantung" hidup itu, seraya tetap menyadari bahwa hidup "jauh dari jangkauan teoriku dan teorimu yang tak becus"--sebagaimana dikatakan tokoh Yuri Zhivago, novel Pasternak itu?
Kita tahu apa yang terjadi pada Marxisme, salah satu dari teori yang oleh Zhivago dianggap "tak becus" itu.[1]
Yang terjadi pada Marxisme adalah kegagalannya untuk mengatasi paradoks modernitas seperti yang dikemukakan Weber: bahwa "rasionalisasi" atau maraknya rasionalitas dalam kehidupan, yang dalam pandangan Pencerahan dilihat sebagai "kemajuan", pada saat yang sama juga melahirkan apa yang oleh Marx disebut sebagai "reifikasi" (Verdinglichung), satu kasus alienasi, yang represif dan mengasingkan manusia.
Marxisme juga adalah sebuah ekspresi the disenchantment of the world, dan padanya ada niat emansipasi manusia yang dahsyat. Paham ini punya optimisme di kepalanya. Bagi Marx, kita tahu, sebuah masyarakat tak berkelas akan lahir setelah kapitalisme runtuh dan manusia terbebas dari keadaan ketika milik, hubungan dan tindakan manusia berubah menjadi milik, hubungan dan tindakan dari hal-hal yang dihasilkan manusia yang menjadi mandiri dari manusia, bahkan mengatur hidup manusia. Dengan kata lain, pembebasan dari reifikasi. Gambaran tentang reifikasi ini kemudian dikembangkan oleh Lukács dalam Sejarah dan Kesadaran Kelas: ia menganggapnya sebagai suatu keterasingan yang meluas terjadi dalam masyarakat kapitalis dan ekonomi pasar yang maju.
Hal yang sama juga dikemukakan oleh dua pemikir Marxis dari Mazhab Frankfurt, Adorno dan Horkheimer, meskipun dalam menulis Dialektika Pencerahan, Adorno dan Horkheimer tampil dengan kesimpulan dan argumentasi yang berbeda secara mendasar. Mereka, seraya merevisi Marx, melihat bahwa logika modernisasi kapitalisme itu dalam dirinya
sendiri tidaklah akan menuju ke arah keruntuhan atau Verelendung, melainkan (seperti dikatakan Weber) munculnya sebuah sistem rasionalitas instrumental dan administrative yang tertutup. Jalan ke luar dari sana, seperti tampak dalam pemikiran Adorno -— dan dalam hal ini ia mencoba membawakan optimisme Marxis -- ialah melepas-bebaskan potensi dalam peradaban manusia yang selama itu tersembunyi, dengan cara mengubah masyarakat, yang bagi Adorno berarti menyusupkan rasionalitas instrumental di bawah rasionalitas estetik, dan dengan demikian membuat yang estetik sebagai sebuah paradigma dari proses berpikir. Ide tentang "nalar" yang benar, yang tidak menyempitkan manusia, yang "emfatik", bagi Adorno, sebenarnya bukan sekedar khayal.
Tapi bila Marx dan kemudian Lukács melihat kemenangan "akal instrumental" sebagai konsekuensi dari paduan pelbagai keadaan yang terkait dengan suatu tahap sejarah, Adorno dan Horkheimer mencopot konsep reifikasi dari konteks sejarah yang spesifik. Adorno dan Horkheimer melihat masalah "akal instrumental" sebagai sesuatu yang melintasi sejarah. Mereka, dalam kata-kata Habermas, "menghunjamkan mekanisme yang membuahkan reifikasi kesadaran ke dalam dasar antropologis dari sejarah makhluk hidup", yakni ke dalam kenyataan bahwa ada kebutuhan atau keharusan makhluk hidup itu untuk mereproduksikan diri melalui alam. Ini menumbuhkan suatu tendensi yang tak terkait dengan waktu dan tempat, tendensi untuk mendominasi manusia dan alam, yang menemukan kulminasinya pada saat kapitalisme mencapai taraf lanjut. Bisa dikatakan, bahwa para penulis Dialektika Pencerahan, terutama bagi Adorno, kodrat berpikir yang melahirkan konsep (Begriff)-lah yang merupakan akar dari suatu proses rasionalisasi yang mau tak mau akan berakhir dengan berkuasanya Zweckrationalitat, terbangunnya suatu sistem penguasaan yang sepenuhnya dirasionilkan, dan dihabisinya subyek yang otonom.
Tapi bagaimana Marxisme bisa membebaskan manusia dari hal itu? Adorno dan Horkheimer menawarkan sebuah transformasi masyarakat, sebuah revolusi yang melahirkan terbebasnya "nalar" yang benar, yang "emfatik", dalam kehidupan. Saya sendiri belum paham bagaimana itu akan terjadi; kita telah cukup mendengar tentang gagalnya utopia Marxisme lama, dan kita pun layak ragu akan utopia Marxisme baru itu. Adorno dan Horkheimer, seperti juga Marcuse, dengan Mazhab Frankfurt mereka, muncul di akhir 1920-an, setelah kekecewaan atas revolusi komunis di Jerman di tahun 1920-21: revolusi itu gagal, walaupun Jerman adalah sebuah masyarakat industri. Maka mereka pun mencoba mengatasi kemacetan Marxisme. Tapi saya ingat akan apa yang dikatakan Sartre dalam Kritik Tentang Nalar Dialektik tentang kemacetan itu: justru karena Marxisme ingin mengubah dunia, terjadilah keretakan di dalam dirinya, perpisahan antara teori dan praktek. Marxisme, sebuah tafsir filosofis tentang manusia dan sejarah, mau tak mau harus mencerminkan suatu komitmen yang teguh kepada perencanaan. Hasilnya, menurut Sartre, adalah "kekerasan idealistik atas fakta-fakta yang ada." "Bertahun-tahun", kata Sartre pula, "intelektual Marxis yakin bahwa ia sedang mengabdi Partai dengan cara mendistorsikan pengalaman, dengan mengabaikan detail yang membuat rikuh, dengan sangat menyederhanakan data dan di atas semuanya, dengan mengkonseptualisasikan suatu kejadian bahkan sebelum ia mempelajarinya."
Dengan kata lain, Marxisme akhirnya adalah suatu afirmasi bagi akal instrumental, dan pada gilirannya, cenderung mencurahkan segala-galanya dengan menggunakan mekanisme itu--karena atas nama Revolusi, yang mutlak, hal itu adalah niscaya. Revolusi memang memerlukan pemutlakan diri, menyedot semua yang ada di bawah dan di sekitarnya, tapi di situlah justru cacatnya. Seperti dikatakan Marleau-Ponty sekitar 40 tahun yang lalu dalam Advontur Dialektik, sifat yang khas ada pada revolusi ialah "meyakini bahwa dirinya mutlak, dan justru karena keyakinan itu ia menjadi tidak mutlak." Kontradiksi yang inheren seperti itulah yang kemudian menyebabkan Marxisme melahirkan sejenis proses reifikasi ketika ia berkembang sebagai ideologi dan sebagai bagian penting dari sistem kekuasaan. Vaclav Havel, dari pengalaman Cekoslowakia, sesungguhnya menggambarkan keadaan itu ketika ia berkata, bahwa topeng ideologi "menawarkan kepada manusia ilusi tentang identitas dan moralitas, sementara membuat mereka lebih gampang melepaskan diri dari hal-hal itu." 

Dari Idealisasi ke Idolisasi
Terutama dilihat dari pandangan seorang yang hidup di "Dunia Ketiga", akar dari semua itu adalah "idealisasi" proletariat, ketika proletariat semakin surut, bahkan mungkin terabaikan, sebagai--untuk memakai istilah Saussurian yang terkenal--referent. Ini boleh dikatakan dimulai ketika Marxisme meletakkan proletariat dalam posisi universal. Bagi Marx, proletariat adalah, sebagaimana dinyatakannya dalam Sumbangan Bagi Kritik Filsafat Hak dari Hegel (1844), "sebuah kelas yang menghapuskan semua kelas, suatu lapisan masyarakat yang mempunyai watak universal karena penderitaannya adalah universal." Tapi tidak amat mudah menelusuri argumen penguniversalan kelas proletariat ini. Dalam tulisan-tulisan Marx kemudian, setelah Ideologi Jerman (ditulis 1845-46) dan Manifesto Komunis, (1848). Penjelasan Marx ialah bahwa revolusi proletar tak akan merupakan kerja sebuah minoritas, dan karena kaum buruh tak punya apa-apa "selain rantai yang membelenggunya", maka bila mereka berkuasa mereka tak akan melahirkan kelas tertindas yang baru.
Tapi posisi pamungkas dan universal dari proletariat ini menjadi problematis, semenjak akhir abad yang lalu. Di akhir abad ke-19, tokoh sosialis Jerman Eduard Bernstein tak lagi melihat kemungkinan kelas pekerja untuk menjadi kelas yang mengakhiri sejarah. Verelendung kapitalisme ternyata tak kunjung terjadi, atau dalam kata-kata Bernstein "petani tak tenggelam, kelas menengah tak menghilang, krisis tak berkembang terus menjadi lebih besar." Bernstein tak lagi melihat akan terjadinya revolusi proletariat yang sungguh-sungguh. Dalam paruh kedua abad ke-20 bahkan para pemikir Marxis yang termasuk mazhab Frankfurt mulai meletakkan harapan perubahan sosial bukan lagi oleh proletariat, dan ketika terjadi gelombang protes mahasiswa di Prancis dan Jerman akhir 1960-an, posisi universal proletariat bahkan tak disebut-sebut lagi.
Di kubu lain yang berlawanan dengan pandangan Bernstein, Lenin menampilkan argumen yang pada akhirnya merupakan transformasi pengertian "kelas pekerja"--juga ketika prospek "revolusi kelas pekerja" tidak segera nampak di depan mata. Lenin berangkat dari kehendak untuk mengadakan revolusi di Rusia, sebuah masyarakat yang belum cukup banyak proletariatnya. Dalam argumen Lenin, Rusia memerlukan "dua tahap revolusi"--dan argumen inilah yang jadi pedoman pokok teori kaum komunis di "Dunia Ketiga", termasuk di Indonesia. Menurut Lenin, seperti dinyatakannya dalam Dua Taktik Sosial Demokrasi (ditulis di Jenewa 1905), dalam masyarakat seperti Rusia, yang lebih ditanggungkan oleh kelas pekerja bukanlah kapitalisme, melainkan lebih berupa "perkembangan kapitalisme yang tak memadai." Sebab itu di Rusia harus berlangsung lebih dulu tahap revolusi "borjuis" yang "demokratis"--untuk kemudian disusul tahap "proletariat" yang "sosialistis".
Dalam tahap pertama, yang harus dihancurkan ialah "semua sisa-sisa tatanan lama yang menghalangi perkembangan kapitalisme yang luas, bebas dan cepat." Dalam masa itu kelas buruh bersatu dengan kelas borjuis, tetapi "kelas proletar" tidak boleh "membiarkan kepemimpinan revolusi di tangan kaum borjuis." Dalam hal ini Lenin tidak cukup menjelaskan, bagaimana kelas buruh, yang merupakan minoritas, dapat mengasumsikan diri sebagai yang berhak memimpin revolusi yang sifatnya demokratis. Pada hemat saya, di sinilah mulai jelas kelihatan apa yang terjadi dengan pengertian "proletariat": ia telah mengalami sebuah "idealisasi".[2]
Tulisan Lenin Apa Yang Harus dilakukan (1901) memang telah menunjukkan bahwa pengalaman "proletariat" akhirnya digantikan dengan "kesadaran kelas proletariat." Peran teori menjadi sentral. "Tanpa teori revolusioner tak akan ada gerakan revolusioner", demikian kata-kata Lenin yang termashur. Dan sebagai konsekuensinya, para perumus teori --kaum intelektual-- menjadi menentukan. "Tak bakal ada kesadaran sosial-demokratis di antara para pekerja. Kesadaran itu harus dibawa ke mereka dari luar", kata Lenin, seperti halnya Kautsky. Bersamaan dengan itu, organisasi revolusi "harus terdiri terutama dan pertama-tama oleh orang-orang yang menganggap kegiatan revolusioner sebagai profesi mereka." Pada akhirnya kita tahu, "proletariat" sebagai suatu realitas yang kongkrit telah digantikan oleh sebuah konsep. "Idealisasi" ini pada gilirannya berkembang menjadi "idolisasi", atau pemberhalaan proletariat, satu hal yang menyebabkan bahkan dalam analisa Mao Zhedong tentang masyarakat Cina dan revolusi Cina --sebuah pegangan pokok bagi program umum Partai Komunis Cina-- tetap menyebut kemestian adanya "kepemimpinan proletariat" dalam kedua tahap revolusi itu.[3]
"Idealisasi" dan "idolisasi" proletariat juga nampak dalam sebuah tulisan Bung Karno dalam Di Bawah Bendera Revolusi, tentang "Marhaen dan Proletar": Bung Karno juga menyebutkan kemestian kepemimpinan "kelas proletar" dalam revolusi yang dua tahap. Hal yang sama juga terlihat dalam pemikiran kaum perumus theologi pembebasan di Amerika Latin, seperti tercantum dalam kesimpulan Konvensi Christians for Socialism di Santiago (Chile) 1972, yang menganggap --di kancah sebuah masyarakat yang pada umumnya pra-industrial-- proletariat sebagai "wakil tunggal" rakyat yang tertindas.
Dalam hal itu kiranya apa yang dikatakan Lyotard bisa dimengerti, dalam suatu perdebatan di London di tahun 1985: "Tak seorang pun yang pernah melihat proletariat." Dalam argumentasi Lyotard, "persoalan tentang proletariat adalah persoalan mengetahui apakah kata ini harus dipahami dalam artian dialektika Hegelian seraya berharap menemukan sesuatu dalam pengalaman yang cocok dengan konsep itu ataukah istilah 'proletariat' merupakan nama sebuah Ide tentang Nalar (an Idea of Reason), nama dari suatu subyek yang harus dibebaskan?" Jika yang dimaksud dengan "proletariat" adalah yang terakhir, kata Lyotard, kita harus melepaskan pretensi bahwa kita dapat "menghadirkan sesuatu dalam pengalaman yang sesuai dengan istilah itu."
Di sini agaknya kita memasuki suatu masalah epistemologis yang pada akhirnya akan berkait dengan agenda emansipasi, dengan keinginan untuk "membentuk kembali hidup"--untuk memakai kata-kata Yuri Zhivago. Salah satu bagian dari reaksi terhadap Lyotard dalam buku Christopher Norris terbaru, The Truth about Postmodernism (1993) menyatakan, bahwa problem kita di sekitar poststrukturalisme ialah karena ia menampik penting dan relevannya deskripsi yang bersifat kategorial. Poststrukturalisme, dalam kata-kata Norris, "berusaha memblok acuan ke setiap pengetahuan dan pengalaman dunia-nyata." Padahal orang berbicara dengan menggunakan pengertian "kelas", misalnya, lantaran ia bertolak dari dasar "ethiko-politikal" dan "kognitif", dalam usaha "mencatat penderitaan dan kesia-siaan manusia yang terjadi karena pelbagai tindakan diskriminatif."

Jamak, Bergerak, Tak Hirarkis
Persoalannya kemudian: bagaimana kita memandang dan berbicara tentang liyan (terjemahan sementara, dengan bahasa Jawa, atas "the Other" atau "Sang Lain" -—person lain, diri kita sendiri sebagai bahan renungan, dan alam di luar). Di satu pihak kita tak mudah membebaskan diri dari rasionalitas yang membuahkan konsep, bahkan kita memerlukannya. Di lain pihak kita telah menyaksikan terjadinya "idealisasi" atas suatu konsep, dan seperti umumnya pemberhalaan, yang terjadi adalah alienasi. Kita telah menyaksikan identifikasi konsep dengan obyek atau bendanya, bahkan pengutamaan konsep di atas obyek atau bendanya, yang menimbulkan "pengorbanan yang pahit atas keanekaragaman kualitatif dari pengalaman."
Kata-kata yang terakhir itu saya pinjam dari Adorno, yang, seperti telah kita ketahui, melihat sebagai salah satu akar dari proses rasionalisasi --yang akhirnya mengunggulkan "akal instrumental"--adalah diutamakannya konsep (Begriff) atas obyek-obyek yang sangat beragam. Konsep pula yang mengatur--untuk meminjam kata-kata Fredric Jameson dalam pembahasannya tentang penulis Dialektika Pencerahan dan Dialektika Negatif itu--"the 'blooming, buzzing confusion' of the natural state into so many abstract girds." Bahwa di situ implisit terdapat gugatan terhadap dominasi (yang terjadi karena akal yang instrumental), bahwa di situ juga tersirat kerinduan akan keanekaragaman, gerak, pluralitas, dengan kata lain kerinduan kepada dunia kehidupan yang kongkrit, nampaknya jelas. Tidak mengherankan bila Fredric Jameson menyebut bahwa pandangan seperti itulah yang menyebabkan dikaitkannya Adorno dengan "postmodernisme". Tidak seluruhnya benar, tapi dalam arti tertentu, ini dapat diartikan pula bahwa kehendak untuk melintasi, atau terlepas, dari sifat represif dan palsu dari konseptualisasi merupakan keprihatinan yang luas.
Tapi bagaimana? Bagaimana kita bisa "membentuk kembali hidup" sementara menerima hidup sebagai Yuri Zhivago menerimanya, yakni bukan sebagai "bahan", bukan sebagai "zat yang harus dibentuk", melainkan sebagai "prinsip pembaharuan-diri, yang terus-menerus memperbaharui dan membuat dan berubah dan mengubah diri"?
Pandangan Zhivago tentang hidup tentu saja sebuah pandangan Herakleitan. Pengertian Herakleitan saya pinjam dari Page duBois (sebagaimana dikutip dalam The Truth about Postmodernism): pandangan yang "merayakan alir, waktu, perbedaan." Bagi Herakleitus --filosof sebelum masa Sokrates yang di awal abad ke-20 menitis dalam Henri Bergson, dan kini seakan-akan menjelma kembali dalam pelbagai pemikiran "postmodernis", terutama, kalau tak salah, pada Deleuze-- kebenaran adalah "proses dan menjadi, diperoleh melalui observasi, dan bukannya suatu kebenaran abadi yang tetap, sakti dan suci dan tak dapat diungkit-ungkit."
Nampak bahwa setidaknya ada dua masalah yang muncul dari cerita tentang kebenaran yang seperti itu. Yang pertama ialah bagaimana kita, seraya hendak melakukan tindakan, atas dasar yang kita anggap benar waktu itu, dapat terus menerus hanya merayakan kebenaran sebagai "proses" dan "menjadi", tanpa berhenti sejenak dan merumuskan apa yang berproses dan apa yang menjadi itu. Dengan kata lain, bagaimana kita mungkin untuk tidak mengidentifikasikan hal-hal--terutama ketika bukan saja hendak "mencatat penderitaan dan kesia-siaan manusia", melainkan juga untuk menyusun suatu agenda pembebasannya. Sebab inilah yang sering ditembakkan kepada kaum "postmodernis", terutama pada Derrida, yang oleh seorang pengritik Marxis disebut sebagai pembawa "filsafat bahasa yang secara radikal antirealis, yang tak memberi kita kemungkinan untuk mengetahui realitas di luar wacana" dan sebab itu tak mempersoalkan "hubungan antara bentuk-bentuk wacana dan praktek sosial." Bisakah dengan filsafat seperti itu kita punya dasar untuk bersikap, dan berbuat, dalam tataran etik dan politik--suatu hal yang umumnya dianggap esensial dalam pembebasan? Bisakah kita selalu mengatakan, "kebisuan mereka adalah adil", seperti tulis Derrida tentang mereka yang tertindas oleh apartheid ?
Mengaitkan proses "merumuskan" atau "mengetahui" dengan "menguasai", kita tahu, memang salah satu ciri dari sikap "postmodernis." Tidak mengherankan bila mereka acapkali menoleh kembali kepada Heidegger, yang --dengan tinjauan yang kritis dan muram tentang modernitas-- membedakan antara pengertian Gestell dan Gelassenheit. Dengan mencoba menyederhanakan pengertian yang rumit itu, bisa dikatakan di sini bahwa dalam hal yang pertama, sikap kita kepada "yang lain", atau sikap kita terhadap liyan, ialah menjangkau dan menangkap dan meletakkanya dalam posisi tertentu, membubuhkan cap, memperlakukannya sebagai bahan, suatu penghematan atas kehadiran liyan di hadapan kita--suatu sikap yang melahirkan perkembangan teknologi. Dalam hal Gelassenheit, yang bisa diartikan sebagai sikap melepas, membiarkan, sikap kita ialah membuka diri kepada liyan, yang hadir sebagaimana adanya dalam kekhususannya, bersama kita yang terbatas. Mungkin kita bisa menggunakan kata Jawa sikap sumeleh di sini--yang berarti, kurang-lebih, meletakkan diri dalam posisi tidak bersikeras, karena kita pada akhirnya toh fana, terbatas: suatu orientasi yang memungkinkan kehadiran liyan dalam jamak, bergerak, tak hierarkis. Seorang penafsir Heidegger, Rainer Schurmann, mengatakan bahwa mempraktekkan Gelassenheit ialah mempraktekkan politik "makhluk yang fana", bukan politik dari "hewan yang rasional."
Tentu saja, ada yang memikat dalam alternatif berpolitik seperti itu. Schurmann mengemukakan suatu pilihan yang disebutnya "praksis anarkis". Bukan "anarkis" seperti dalam teori politik kaum anarkis, melainkan suatu "permainan" dari sesuatu yang mengalir, "tanpa stabilisasi", dan mungkin juga "dilaksanakan sampai ke suatu fluktuasi lembaga-lembaga yang tak henti-hentinya." Dan juga: tanpa teori, tanpa suatu dasar bersama, sebab semua itu bisa dianggap merampat-papankan, dan dengan demikian represif. Dengan praksis semacam itulah kita bisa berpolitik, menjalankan tindakan, tanpa menutup parameter pikiran kita agar beberapa dimensi kekhususan dan perbedaan dalam diri liyan, menjadi satu, menjadi homogen.

Ontologi Ketidaksepakatan
Dari sikap seperti ini yang mungkin lahir ialah bentuk-bentuk gerakan atau system demokrasi yang "radikal" tetapi kecil--"radikal" dalam arti kembali kepada akar demokrasi itu sendiri, yakni sikap yang merayakan keanekaragaman, kekhususan, kebersamaan yang tanpa hierarki. Namun, ada satu soal: bagaimana dalam kancah itu orang saling melahirkan dan mempertahankan prosedur yang bisa diterima bersama untuk membuat politik tetap terbuka--ataukah itu juga tidak diperlukan? Seperti yang dikemukakan oleh Hayden White dalam Political Theory and Postmodernism, para pemikir "postmodernis" tidak bisa menjadikan ini tema mereka. Mereka mengemukakan hanya dua cara berpikir: atau modus yang terjerat dalam Gestell, atau modus yang tak punya target, tujuan atau "kenapa"--pendek kata, tak punya suatu konsensus bahkan tentang alasan diri sendiri untuk berada bersama.
Dari sinilah kita memasuki persoalan kedua: persoalan yang lahir dari apa yang oleh seorang komentator Foucault disebut sebagai an ontology of discord, suatu ontology "ketidaksepakatan." Menghadapi perabotan kognitif yang memperkenalkan kesatuan, konsensus dan ketertib-rapian, mereka, terutama Foucault, menuding bagaimana dengan perabotan kognitif yang seperti itu, liyan pun digusur, dipinggirkan, secara paksa diseragamkan, dan didevaluasi. Menghadapi itu, yang harus dilakukan ialah membangkitkan pengalaman tentang ketidaksepakatan dan ketidakcocokan, antara konstruksi sosial tentang diri, kebenaran dan rasionalitas dan apa yang tidak pas masuk ke dalam wadah yang disediakan itu. Dengan kata lain, suara sumbang diberi kesempatan untuk tampil. Maka Foucault pun berbicara untuk "mengaktifkan kembali pengetahuan-pengetahuan lokal". Itulah perlawanan terhadap "hierarki ilmiah pengetahuan", katanya.
Dalam semangat yang kurang lebih sama, Lyotard menampik konsensus. Ia menampik setiap usaha untuk membangun satu meta-wacana. Ia mempraktekkan la paralogie, untuk mempertahankan kenyataan adanya keragaman "olah-basa" (les jeux de langage), Konsensus, seperti dikatakannya dalam risalahnya yang terkenal, Kondisi Postmodern, melakukan "kekerasan terhadap keragaman olah-basa." Bahkan Lyotard tidak bisa sesuai dengan tafsir liberalisme tentang keadilan, tafsir yang dipaparkan oleh John Rawls dalam A Theory of Justice-nya yang terkenal, misalnya. Dengan tinjauan yang mengikuti la paralogie, akan nampak ide keadilan dalam liberalisme masih tetap berkait dengan gagasan konsensus: keragaman disubordanisasikan di bawah seperangkat asas-asas universal. Agaknya bagi Lyotard, dan agaknya juga bagi Foucault, argumentasi untuk suatu "praksis anarkis" adalah yang paling tepat.
Saya tidak bisa mengatakan, bagaimana hal itu beroperasi dalam kehidupan sehari-hari, untuk masa yang panjang; diagnosa dan terapi para pemikir "postmodernis" bagi saya sering terdengar seperti sejumlah hiperbol. Meskipun demikian, di sebuah masyarakat di mana sikap integralistik sangat kuat, dalam suatu masyarakat yang jalan menuju pertumbuhan ekonomi dengan imperatif kesatuan, harmoni, ketertib-rapian, aksentuasi yang diberikan oleh Foucault dan Lyotard untuk meramaikan heterogenitas dan "ontologi ketidaksepakatan" bukanlah sekedar versi yang lebih ramai, tapi boyak, dari liberalisme. Sikap Derrida yang selalu mempertanyakan, menunda, dan merenung dalam "filsafat keraguan ini", pandangannya yang cenderung untuk melihat demokrasi sebagai proses yang selalu diikhtiarkan, sebagai tugas dan tanggungjawab yang tak ada batasnya, la democratie a venir, dalam batas tertentu merupakan ekspresi oposisional terhadap represi yang terjadi ketika kepastian-kepastian kategoris tentang kebenaran menguasai ruang hidup kita. Singkatnya "postmodernisme" bisa merupakan ilham emansipasi tersendiri.
Namun dengan demikian, ia tidak niscaya sesuatu yang "postmodern" jika kita memang bermaksud menunjuk kepada satu periode, suatu era, yang bagi saya di Indonesia di tahun 1993, tidak jelas batasan-batasannya. Kalau tak salah Lyotard pernah mengatakan, bahwa "postmodernisme" lebih merupakan suatu sikap, dan mungkin itu lebih tepat. Meskipun, dari posisi seorang Indonesia di hari ini, saya kira kita lebih baik berbicara tentang "non-", atau "anti-", atau "postintegralisme" ketimbang "postmodernisme": dengan semangat yang tak jauh berbeda--yakni semangat mengakui dan merayakan integritas, kekhususan dan perbedaan orang lain, tapi dengan sikap yang lebih peka kepada konteks, kepada apa yang kita sebut sebagai "sejarah."

Catatan:
1. Tentu saja Marxisme tidak berada di bawah satu atap. Pengertian "Marxisme" bias berarti pemikiran Marx sendiri, tetapi juga bisa ide-ide yang dikembangkan oleh bermacam ragam pemikir yang menyebut diri "Marxis." Kita ingat bahwa di awal 1880-an Marx, yang berada di London, diserang oleh para pengikutnya di Paris, yang mengklaim bahwa paham merekalah yang benar-benar "sosialisme ilmiah" yang dibangun Marx. Syahdan Marx pun berkata, sebagaimana dikutip oleh Lafargue, bahwa "Jika ada hal yang pasti, itu adalah bahwa saya bukanlah Marxis." Dalam tulisan ini, saya menggabungkan semua arti "Marxisme" itu, dengan mencoba menunjukkan perkembangan dan perubahannya.
2. Proses "idealisasi" itu juga masih nampak dalam teori Lukacs yang terkenal, dalam Sejarah dan Kesadaran Kelas (1923), yang menyebut bahwa "kesadaran kelas" itu terdiri dari "reaksi yang rasional dan tepat" yang "dikaitkan" ke sebuah posisi tertentu yang khas dalam proses produksi. Dengan kata lain, sebuah kelas yang secara empiris ada hanya dapat bertindak secara berhasil bila mengubah diri (dalam bahasa Hegelian) dari "kelas dalam dirinya" menjadi "kelas untuk dirinya." Marx sendiri memang, sejak awal, membedakan situasi obyektif sebuah kelas dan kesadaran subyektifnya. Tetapi perkembangan Marxisme kemudian menunjukkan proses "idealisasi" yang bukan saja menyatakan supremasi kesadaran (politik) kelas di atas pengalaman kelas, melainkan juga transformasi dari pengertian "ideologi." Ideologi, kita tahu, bagi Marx pada awalnya merupakan suatu cermin "terbalik" dari kenyataan sosial-historis--dengan kata lain, sesuatu yang negatif, sesuatu yang niscaya mendistorsikan kenyataan dengan menyembunyikan kontradiksi yang ada, seperti tinjauan Marx tentang agama, ketika ia membantah Feuerbach. Tapi dalam pelbagai pemikir Marxis kemudian (kecuali Adorno, barangkali) pengertian ideologi menjadi sesuatu yang tidak negatif, melainkan netral: totalitas bentuk-bentuk kesadaran yang mencerminkan suatu kelas sosial tertentu, sebuah pandangan yang jelas jadi pegangan Gramsci ketika ia berbicara tentang "hegemoni." Bahkan semenjak Lenin, terutama Mao, ideologi menjadi sama dengan teori atau pegangan bertindak: sesuatu yang menentukan, bukan lagi sesuatu yang ditentukan.
3. Rex Mortimer, dalam Stubborn Survivors, mencoba menunjukkan bahwa pemikiran Mao berbeda dengan Marxisme Eropa: ia menganggap petani sebagai pemilik tekad revolusioner yang terbaik" untuk menciptakan "sebuah masyarakat sosialis yang sejati", dan bahwa "industrialisasi secara intrinsik bersifat eksploitatif, imperialistik dan mengkorupsi." Tetapi ia nampaknya mengabaikan apa yang dikatakan Mao sendiri, dan juga kenyataan bahwa Partai Komunis tetap berkuasa sebagai partai kelas pekerja, dan bahwa Mao pernah mencoba melampaui industrialisasi Inggris dengan gerakan "Loncatan Besar Ke Depan".

Tulisan ini diambil dari Jurnal Kalam, edisi 1 - 1994.

No Response to "REVOLUSI DAN PRAKSIS ANARKIS"

Leave A Reply