1.20.2010

Pandangan Advokat Selaku Penegak Hukum Terhadap HAM Dalam Menangani Kasus-kasus dalam Tingkat Proses Penyidikan

Posted on 20.53 by HUKUM HAM DAN DEMOKRASI


Oleh: Abdul Hakim G Nusantara SH, LLM
Sebelum membahas inti persoalan makalah ini, yaitu pandangan advokat tentang aspek HAM dalam proses penyidikan, utamanya yang dilakukan oleh polisi, terlebih dahulu kita perlu memahami konteks yang lebih luas dari masalah itu, yakni hubungan antara Negara dengan Masyarakat Sipil (State and Civil Society). Advokat sebagai profesi pemberi jasa hukum kepada masyarakat acap disebut sebagai penegak hukum. Namun sesungguhnya posisi dan tempat advokat ada di tengah masyarakat, tegasnya ia merupakan bagian dari masyarakat sipil. Advokat jelas bukan bagian dari aparatur negara. Posisi dan tempat advokat terang berbeda dari Polisi, Jaksa, Hakim, Pegawai Negeri Sipil atau militer atau para anggota Dewan Perwakilan Rakyat serta pejabat negara lainnya, yang semuanya merupakan pejabat publik (public officials). Para pejabat publik itu menjalankan tugas kenegaraan, yakni penyelenggaraan tugas negara untuk melayani masyarakat dan kepentingan negara. Karena itu para pejabat publik itu mempunyai tanggungjawab publik (public responsibilities) yang jelas di atur dalam berbagai UU dan peraturan perundangan, seperti, UU Kepolisian, UU Kejaksaan, UU Pokok Kekuasaan Kehakiman, UU Pegawai Negeri, UU Ratifikasi Konvensi Menentang Penyiksaan, Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, dan Merendahkan Martabat (CAT) tahun 1984, dan lain sebagainya. Berbeda dari para pejabat publik tersebut di atas, Advokat adalah profesi yang bebas, mandiri, dan bertanggungjawab dalam menegakkan hukum. Karena itu, UU Advokat (UU No.18 Tahun 2003) memberi status sebagai penegak hukum, bebas dan mandiri yang dijamin oleh hukum dan peraturan perundang-undangan (Pasal 5 ayat 1 UU Advokat).

Sebagai profesi bebas dan mandiri Advokat lahir dan berkembang di tengah masyarakat, bersama masyarakat, dan menjawab tuntutan kebutuhan masyarakat. Sebagai profesi ia relatif sudah tua umurnya. Jauh sebelum munculnya negara moderen (Modern states) profesi pemberi jasa hukum sudah dilakukan oleh para pemuka agama dan masyarakat. Profesi ini terus berkembang seiring dengan berkembanganya ekonomi masyarakat, yang kemudian diikuti oleh munculnya negara-negara moderen. Di Indonesia (dulu Hindia Belanda) profesi advokat dalam wujudnya yang moderen muncul mengiringi lahirnya Negara Hukum Kolonial (Colonial Rechtsstaat). Pada awal abad ke 19 bahkan sebelumnya pada abad ke 18 profesi hukum ini banyak dijalankan oleh para sarjana hukum Belanda. Pada awal abad ke 20 para sarjana hukum pribumi mulai pula menjalankan profesi ini dan terus berkembang pada masa awal Kemerdekaan Indonesia hingga hari ini. Dengan demikian profesi Advokat eksistensinya sangat bergantung pada perkembangan masyarakat. Legitimasi profesi ini datang dari masyarakat. Itu berarti, ada kebutuhan masyarakat, ada orang-orang yang melalui pengalaman dan pendidikan memperoleh keahlian di bidang hukum guna memenuhi kebutuhan masyarakat itu. Sebagaimana disebutkan di muka, profesi Advokat berkembang seiring dengan perkembangan ekonomi dan munculnya negara-negara moderen. Lahirnya negara-negara moderen membawa serta lembaga-lembaga hukum moderen, seperti, birokrasi pemerintah, badan peradilan, dan aparat negara lainnya. Perangkat negara moderen itu di bentuk untuk melayani kepentingan negara dan masyarakat. Namun acap terjadi kepentingan negara dan masyarakat itu berbenturan satu sama lain. Dalam kasus benturan seperti itu acap Advokat diperlukan guna menjembatani kepentingan masyarakat dan kepentingan negara. Karena benturan kepentingan itu bisa terjadi karena negara tidak mengerti atau memahami kebutuhan hukum masyarakat, atau sebaliknya masyarakat tidak memahami kepentingan publik, dalam hal itu kepentingan negara. Adanya jurang (gap) hukum itu menyebabkan terjadinya benturan. Dalam situasi itu profesi Advokat diperlukan oleh keduanya, yakni negara dan masyarakat. Pada sisi masyarakat profesi Advokat dapat digunakan untuk mempermudah memperoleh akses pada pusat-pusat pengambil keputusan atau akses pelayanan negara. Pada sisi negara profesi Advokat dapat mempermudah negara untuk menyampaikan kebijakan dan pelayanan kepada masyarakat, yang dengan demikian akan diperoleh pula dukungan masyarakat. Meskipun profesi Advokat diharapkan dapat menjembatani jurang yang memisahkan antara kepentingan negara dan masyarakat, namun acap pula kita saksikan masing-masing pihak negara dan masyarakat menggunakan Advokat untuk mempertahankan hak dan kepentingan masing-masing dalam suatu sengketa di pengadilan. Dalam situasi seperti itu Hakim pengadilan yang akhirnya berwenang mengambil keputusan.


III

Uraian di atas jelas menunjukkan profesi Advokat itu sungguh merupakan profesi bebas dan mandiri. Profesi itu tidak tergantung pada penunjukkan dan keuangan negara. Profesi itu hidup karena dibutuhkan masyarakat, dan akan terus berkembang bersama masyarakat. Walaupun profesi Advokat itu merupakan profesi swasta, bebas dan mandiri, di mana keahlian, pengalaman, dan integritas diperlukan untuk menopang profesi tersebut. Namun para Advokat juga mengemban tugas publik (public duties), yakni kewajiban untuk memberikan bantuan hukum kepada masyarakat tidak mampu yang memerlukan pelayanan hukum. Para Advokat juga memikul beban untuk menegakan hukum dan keadilan bebas dari praktek Kolusi, Korupsi dan Nepotisme (KKN) (Pasal 4 UU Advokat). Oleh karena profesi Advokat lahir, hidup dan berkembang ditengah masyarakat, maka biasanya dalam masalah hubungan antara negara dan masyarakat sipil (state and society) pandangan para Advokat cenderung lebih berat pada hak-hak dan kepentingan masyarakat. Dalam situasi hubungan antara negara dan masyarakat tidak simetris seperti yang kita lihat di negara-negara otoriter (authritarian states), di mana dominasi negara dan aparatnya atas rakyat begitu kuat sehingga melahirkan berbagai bentuk pelanggaran HAM, biasanya para Advokat cenderung berpihak kepada rakyat, utamanya mereka yang hak-haknya ditindas. Fakta ini dapat kita lihat di banyak negara di benua-benua Asia, Afrika, dan Amerika. Di Indonesia, adalah suatu fakta sejarah yang tidak dapat di bantah sejak zaman pra kemerdekaan sampai pada zaman demokrasi Terpimpin, zaman Orde Baru, dan zaman Reformasi para Advokat selalu merupakan pihak yang senantiasa lantang menyuarakan hak-hak dan kepentingan masyarakat. Sikap dan pandangan para Advokat terhadap perilaku aparat negara, termasuk para penyidik (Polisi) dari zaman ke zaman tentu berbeda. Di masa rezim otoriter Orde Baru, dimana Polisi, Jaksa, dan Hakim lebih merupakan alat negara yang berpihak kepada kepentingan penguasa daripada sebagai abdi hukum dan keadilan, para Advokat senantiasa merupakan pihak yang kritis, vokal dan konfrontasional terhadap aparat negara, khususnya polisi dan militer. Pada periode inilah gagasan tentang perlunya lembaga pra-peradilan, pengakuan dan perlindungan HAM, bantuan hukum untuk masyarakat miskin, pemisahan Polisi dari ABRI sampai dengan gagasan Pengadilan Konstitusi banyak dikemukakan oleh para Advokat yang tergabung dalam Persatuan Advokat Indonesia (PERADIN).


IV

Era reformasi yang berjalan hampir lebih dari satu dasa warsa ini telah banyak mengubah kehidupan hukum di Indonesia. Selama lebih dari satu dasa warsa ini kita telah menyaksikan banyak perubahan di bidang kebijakan hukum (legal policy) yang dimaksudkan untuk memperkuat pengakuan, penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan HAM. Indonesia sebagai Negara Hukum kini telah memiliki berbagai produk hukum dan lembaga-lembaga perlindungan HAM, seperti, UU HAM (UU No.39 Tahun 1999), UU Pengadilan HAM, UU Ratifikasi Kovenan Internasional Menentang Penyiksaan, Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, dan Merendahkan Martabat (CAT) Tahun 1984, UU Ratifikasi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi, UU Ratifikasi Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik, UU Ratifikasi Kovenan Internasional Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, dan lain sebagainya. Selain itu, disamping KomnasHAM dibentuk pula lembaga-lembaga baru yang dimaksudkan untuk memperkokoh dan memperluas perlindungan HAM, seperti Komisi Ombudsman Nasional, Komisi Perlindungan Perempuan dari Kekerasan, Komisi Perlindungan Hak Anak. Puncak dari reformasi hukum tentunya adalah Amandemen UUD 1945 yang berlangsung 4 (Empat kali) di mana pada amandemen ke 2 HAM dimasukan ke dalam batang tubuh Konstitusi. Dengan demikian HAM tidak sekedar hak atas dasar UU, tapi HAM merupakan hak Konstitusional, yang wajib di hormati oleh lembaga-lembaga negara. Dibentuknya Mahkamah Konstitusi (MK) harus pula dipandang sebagai upaya untuk memperkuat pengakuan, penghormatan, pengakuan dan pemenuhan HAM. Sebuah produk UU yang mengandung norma hukum yang melanggar HAM sebagai hak konstitusional memberikan hak kepada pihak yang dirugikan untuk mengajukan pengujian ke MK dan meminta Majelis Hakim untuk membatalkan norma hukum yang melanggar hak konstitusional tersebut. Di sektor keamanan kita menyaksikan pula gerak reformasi, antara lain dikeluarkannya Polisi dari ABRI / TNI. UU No.2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Konsideran huruf c UU tersebut menyatakan: “bahwa telah terjadi perubahan paradigma dalam sistem ketatanegaraan yang menegaskan pemisahan kelembagaan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan peran dan fungsinya masing-masing;”UU Kepolisian Negara Republik Indonesia menegaskan fungsi dan peran kepolisian, antara lain sebagai berikut:

Pasal 2 menegaskan bahwa, “Fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.”

Pasal 4 menyatakan bahwa “Kepolisian Negara Republik Indonesia bertujuan untuk mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, serta terbinanya ketentraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia.”

Pasal 5 ayat 1 menyatakan pula bahwa, “Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri.”


V

Berbeda dari Advokat yang merupakan bagian dari masyarakat sipil, Polisi merupakan bagian dari aparatur negara yang karena itu legitimasinya datang dari negara. Eksistensi Polisi sangat tergantung pada Negara dan kebijakan-kebijakan yang diambilnya. Itu tidak berarti Polisi tidak memerlukan pengakuan dan dukungan masyarakat. Pengakuan, penghargaan dan dukungan masyarakat senantiasa penting bagi aparatur negara. Karena hal itu selain akan memperkuat legitimasi negara, juga akan memudahkan pelaksanaan tugas aparatur negara, termasuk polisi dalam melayani kepentingan negara dan kepentingan masyarakat. Pemisahan Polisi dari TNI merupakan bagian capaian reformasi sistem penegakan hukum di Indonesia. Dengan pemisahan ini terbuka jalan untuk reformasi kepolisian, yang intinya adalah mewujudkan Polisi sebagai Abdi Hukum dalam Negara Hukum Indonesia yang demokratis (NHDI). Untuk mewujudkan Polisi sebagai Abdi Hukum dalam NHDI itu diperlukan reformasi dalam tubuh Polisi baik dalam arti Struktural mapun kultural. Kita mencatat upaya-upaya reformasi yang dilakukan oleh Pemerintah, DPR, dan Polisi, antara lain, pembuatan UU Kepolisian Negara RI (UU No.2 Tahun 2002), Pembentukan Komisi Kepolisian Nasional, Penundukan Polisi pada kompetensi Pengadilan Sipil, dan dibuatnya berbagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Polisi yang memuat norma HAM.. Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No.8 Tahun 2009 Tentang Implementasi Prinsip Dan Standar Hak Asasi Manusia Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia, haruslah dipandang sebagai upaya pihak POLRI untuk membudayakan HAM di kalangan Polisi. Peraturan Perundang-undangan ini merujuk pada pasal 28 UUD 1945 dan berbagai UU dan Peraturan Perundang-undangan yang berkenaan dengan HAM yang pernah dikeluarkan di Indonesia. Konsideran Peraturan Perundang-undangan itu, antara lain menyatakan:
b. “bahwa sebagai alat negara, Kepolisian Negara Republik Indonesia juga mempunyai kewajiban untuk menghormati, melindungi, dan menegakkan hak asasi manusia dalam menjalankan tugas dan fungsinya.”
c. “bahwa agar seluruh jajaran Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat menghormati, melindungi, dan menegakkan hak asasi manusia dalam menjalankan tugas dan fungsinya, diperlukan pedoman tentang implementasi prinsip dan standar hak asasi manusia dalam pelaksanaan fungsi dan tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia.”

Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No.8 Tahun 2009 memuat materi hukum sebagai berikut:

Bab pertama memuat Ketentuan Umum yang mendifinisikan 25 (duapuluh lima) pengertian atau konsep-konsep hukum seperti, HAM, HAM bagi Penegak Hukum, Kepolisian Negara RI atau POLRI, Etika Pelayanan, Pelanggaran HAM, Ketentuan berperilaku (Code of Conduct), Kekuatan, Kekerasan, Penggunaan Kekuatan, Senjata, Budaya Lokal, Penyidikan, Korban Langsung, Korban Tidak Langsung, Anak, Saksi, Pengeledahan, Penyitaan, dan lain sebagainya. Bab pertama ini juga menjelaskan maksud dan tujuan dibuatnya Peraturan Perundang-undangan tersebut, antara lain untuk:

“a. Sebagai pedoman dasar implementasi prinsip dan standar hak asasi manusia dalam setiap penyelenggaraan tugas Polri; dan
b. menjelaskan prinsip-prinsip dasar HAM agar mudah difahami oleh seluruh jajaran Polri dari tingkat terendah sampai yang tertinggi dalam pelaksanaan tugas kepolisian di seluruh wilayah Indonesia.”
(Pasal 2 ayat 1 Peraturan KAPOLRI No.8 Tahun 2009). Bab pertama juga memuat prinsip-prinsip perlindungan HAM dan Konsep dasar Perlindungan HAM.

Bab kedua memuat Instrumen Perlindungan HAM, yang terdiri atas suatu daftar panjang HAM yang termuat dalam Pasal 28 dan Pasal 29 UUD 1945. Secara khusus Pasal 6 merumuskan daftar HAM yang termasuk dalam cakupan tugas Polri, antara lain sebagai berikut:

a. “hak memperoleh keadilan: setiap orang, tanpa diskriminasi, berhak untuk memperoleh keadilan dengan mengajukan permohonan pengaduan dan laporan dalam perkara pidana, serta diadili melalui proses peradilan yang bebas dan tidak memihak, sesuai dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaan secara obyektif oleh hakim yang jujur dan adil untuk memperoleh putusan dil dan benar”;

b. “hak atas kebebasan pribadi: setiap orang bebas memilih dan mempunyai keyakinan politik, mengeluarkan pendapat di muka umum, memeluk agama masing-masing, tidak boleh diperbudak, memilih kewarganegaraan tanpa diskriminasi, bebas bergerak, berpindah dan bertempat tinggal di wilayah RI; dan seterusnya sampai dengan huruf h.”


Perlu dipertanyakan, kenapa hak hidup, hak untuk tidak disiksa, yang diakui sebagai non-derogable rights tidak dimasukan dalam cakupan tugas Polri ?
Bab kedua memuat pula kewajiban setiap anggota POLRI untuk memahami instrumen hukum internasional HAM, antara lain Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik, Kovenan Internasional Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, Kovenan Menentang Penyiksaan, Perlakuan atau Hukuman lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, dan Merendahkan Martabat (CAT) tahun 1984, dan lain sebagainya.

Bab ketiga memuat materi tentang Standar Perilaku Petugas/Anggota POLRI Dalam Penegakan Hukum, yang teridiri atas: Standar Perilaku Secara Umum, seperti, larangan untuk menggunakan kekerasan, kecuali dibutuhkan untuk mencegah kejahatan membantu melakukan penangkapan terhadap pelanggar hukum atau tersangka sesuai dengan peraturan penggunaan kekerasan; Standar Perilaku Petugas/Anggota Polri Dalam Tindakan Kepolisian, seperti, larangan untuk melakukan intimidasi, ancaman, siksaan fisik, psikis ataupun seksual untuk mendapatkan informasi, keterangan atau pengakuan; dan berbagai aturan Perilaku yang berkaitan dengan Tindakan Pemanggilan, Tindakan Penangkapan, Tindakan Penahanan, Tindakan Pemeriksaan, Tindakan Penggeledahan Orang dan Tempat, Tindakan Pemeriksaan di Tempat Kejadian Perkara, Tindakan Penyitaan Barang Bukti.

Bab keempat memuat materi tentang Perlindungan HAM Bagi Tersangka yang terdiri atas: Prinsip Praduga tak bersalah; Hak Tersangka; Hak Untuk Diadili Secara Adil; Penghormatan Martabat dan Privasi Sesorang.

Bab kelima memuat materi Tugas Pemeliharaan Kamtibmas Berlandaskan HAM, yang terdiri atas: Perilaku Petugas yang antara lain, mewajibkan setiap Petugas untuk memperlakukan korban, saksi, tersangka / tahanan dan setiap orang yang membutuhkan pelayanan polisi secara adil dan profesional sesuai dengan ketentuan yang berlaku; Perlindungan HAM Dalam situasi darurat, yang antara lain menegaskan HAM yang merupakan non-derogable rights seperti hak hidup, hak untuk tidak disiksa dan lain sebagainya tidak boleh dikurangi; Perlindungan HAM dalam kerusuhan massal yang antara lain menegaskan, “Setiap angota Polri dilarang melakukan kekerasan dengan dalih untuk kepentingan umum atau untuk penertiban kerusuhan; Penggunaan Kekuatan/Tindakan Keras dan Senjata Api yang antara lain menegskan, tindakan keras hanya diterapkan bila sangat diperlukan. Tindakan keras hanya diterapkan untuk tujuan penegakan hukum yang sah;

Bab keenam memuat materi Perlindungan HAM Dalam Tugas Pelayanan Masyaerakat, antara lain menegaskan keadilan dalam pelayanan masyarakat dan pelayanan terhadap Korban dan Saksi; Perlindungan HAM Bagi Anggota Polri, yang antara lain menegaskan Setiap anggota Polri harus bebas dari perlakuan sewenang-wenang dari atasannya;

Bab ketujuh tentang Pembinaan dan Pengawasan memuat materi antara lain, kewajiban setiap anggota untuk meningkatkan pemahaman dan kemampuan diri dalam menerapkan aturan tentang HAM di dalam pelaksanaan tugasnya; kewajiban pejabat Polri untuk menjatuhkan sanksi terhadap anggota Polri yang melakukan tindakan yang bertentangan dengan prinsip perlindungan HAM dalam pelaksanaan tugas.

Bab kedelapan Penutup.

VII

Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia tersebut di atas mengandung muatan norma HAM yang relatif lengkap dan merupakan bahan yang berguna dan penting bagi sosialisasi dan pembudayaan HAM di kalangan Polisi. Namun ini tidak menjadi jaminan efektifitas perlindungan HAM bagi masyarakat. Usaha internal POLRI untuk membudayakan HAM penting untuk terus dilakukan. Namun usaha ini akan bisa optimal dan mampu mencapai tujuannya bila ada peran serta masyarakat sipil, antara lain, Advokat, Wartawan, para pemuda, dan kalangan masyarakat luas. Dalam upaya untuk menjamin penegakan HAM yang adil dan proporsional itu diperlukan kehadiran para Advokat dan para pekerja bantuan hukum untuk turut mengawasi kerja polisi pada proses pemeriksaan perkara pidana, termasuk tentunya tahap penyidikan.


No Response to "Pandangan Advokat Selaku Penegak Hukum Terhadap HAM Dalam Menangani Kasus-kasus dalam Tingkat Proses Penyidikan"

Leave A Reply